Tak perlu bertubuh langsing untuk menjadi bahagia. Benar atau salah?
Benar. Itu jawaban saya selama ini. Hingga suatu kali saya pergi makan siang bersama seorang rekan dan tercengang melihat ia rela menyantap sepiring salad belaka sebagai makan siang dengan alasan ingin menurunkan berat badan. Sementara itu, saya menyantap hot dog ukuran jumbo dengan santai saja. Dan tiba-tiba saya tersadar, mungkin saya beruntung karena selama
ini tak pernah tahu bagaimana rasanya kelebihan berat badan -walau sekilo jua.
Kemudian rekan saya itu bertanya -sesuatu yang tak pernah bisa saya jawab-, "Bagaimana sih caranya agar tetap kurus?" Anda tak mungkin menanyakan rahasia bertubuh kurus pada orang yang tidak tahu bagaimana rasanya tidak kurus. Saya tidak tahu apa rahasianya. Saya penggemar cokelat, hot dog, kopi instan, dan teh botol. Saya jarang makan sayur dan buah-buahan. Satu-satunya makanan sehat yang saya gemari adalah sushi. Sekali lagi, saya tidak tahu.
Jadi saya juga tidak tahu bagaimana beratnya perjuangan para wanita yang ingin menurunkan berat tubuh hingga ke batas ideal. Karena itu, mudah saja bagi saya untuk setuju bila ada yang mengatakan 'tak perlu bertubuh langsing untuk menjadi bahagia'. Dengan ringannya saya menyatakan slogan itu kepadanya, maksudnya untuk meringankan perasaan karena saya tak
bisa memberikan resep ampuh bertubuh kurus. Anda tahu apa jawabannya? "Memangnya salah kalau gue senang karena timbangan turun dua kilo? Badan ini, badan gue sendiri kan?" Uhuk, rasanya ulu hati saya ditonjok mendengar jawaban itu.
Sekarang memang tak jarang terdengar slogan-slogan yang menganjurkan wanita berhenti memikirkan soal penampilan. Para feminis - yang ketinggalan jaman - menyalahkan masyarakat yang membuat wanita lebih mementingkan kecantikan ketimbang otak. Menurut
mereka, kecantikan adalah sebuah mitos yang dibuat-buat, sebuah plot ciptaan masyarakat patriarkal untuk mengontrol wanita secara moral dan seksual. Lebih jauh lagi, plot ini bahkan menjadikan wanita sebagai obyek penarik keuntungan materi lewat dunia kosmetik, mode, dan makanan diet.
Saya jadi curiga, jangan-jangan pernyataan-pernyataan ini dibuat oleh mereka yang merasa tak mampu mencapai standar kecantikan yang mereka inginkan sendiri. Mengapa seakan-akan keinginan akan tubuh ideal menjadi suatu dosa? Memang benar -tentu saja- bahwa budaya
dan era berbeda memang mempunyai standar tubuh ideal yang berbeda pula. Memang benar bahwa anorexia dan bulimia adalah dampak sebuah obsesi yang berlebihan akan tubuh ideal. Tapi memang benar juga bahwa tubuh ideal itu adalah sebuah kenyataan, bahkan sebuah anugerah Tuhan yang akan tetap ada untuk selamanya. Karena itu, keindahan tubuh ideal seharusnya dihargai, bukannya dipaksakan untuk dianggap tak berharga.
Sejenak kita berpaling pada sejarah manusia sendiri. Bila pria bersaing satu sama lain melalui otot dan keberanian, wanita bersaing melalui tanda-tanda kesuburan yang sehat seperti kulit berbinar, rambut berkilau, bentuk tubuh yang melekuk sempurna. Hal ini terus berlangsung hingga kini, dan tak bisa disangkal lagi bahwa semua ini adalah tanda-tanda kecantikan umum yang diidamkan wanita tanpa peduli asal budaya maupun jamannya.
Rekan saya tadi sangat setuju mengenai hal ini, ia tak akan sudi tampil di depan umum dengan rambut acak-acakan dan lemak di seputaran perutnya. Selain tak percaya diri, ia juga merasa harus menghargai orang-orang di sekelilingnya. Anda tak bisa menyangkal kenyataan bahwa mata kita terasa lebih nyaman saat menatap wanita berpenampilan cantik dan rapi daripada
penampilan asal dan tubuh tak terawat.
Jadi, seharusnya keinginan akan tubuh ideal dipandang sebagai sebuah dorongan biologis yang normal, bukannya keinginan semu pemuas masyarakat patriarkal. Ini adalah sebuah dilema khas wanita, mereka bisa saja mengacuhkan segala kebiasaan feminin, seperti mengenakan make-up dan memperhatikan berat badan, dus mengorbankan penampilan demi mengikuti sebuah ideal yang entah benar entah salah. Atau tetap memperhatikan bentuk tubuh dan penampilan, lalu dicerca sebagai korban idealisme buatan kaum chauvinist. Kedua pilihan itu sama-sama memiliki akibat yang tak menyenangkan.
Kalau begitu, mengapa harus peduli? Kalau memang sudah yakin, tak perlu lagi mempedulikan pendapat yang berlawanan. Di jaman reformasi yang penuh kebebasan ini (lagi-lagi pernyataan klise!), seorang wanita boleh saja tetap berjuang mencapai berat badan ideal dan sekaligus merasa bahagia dalam perjuangannya. Boleh saja bila ia ingin mengenakan bustier ketat, sepatu hak tinggi, atau sekalian melakukan operasi plastik dan menganggap itu semua adalah kebebasannya sendiri dalam menentukan pilihan hidup, sama bebasnya dengan mereka yang mengaku tidak peduli soal penampilan.
Bila dipikir lebih lanjut, segala hal yang dipromosikan untuk mencapai tubuh ideal -olahraga dan
makanan bergizi- sebenarnya menjamin tubuh yang sehat juga. Bukan kebetulan bila seorang wanita yang memperhatikan penampilannya cenderung merasa sehat fisik maupun mental. (Sampai di sini, berarti selama ini saya telah menjalani pola hidup tak sehat dan tak menyadarinya karena tak merasakan akibat berupa kelebihan berat badan. Nah, jadi saya beruntung atau tidak beruntung?)
Mungkin sebaiknya kita tidak usah memusingkan soal keinginan bertubuh langsing, itu kan pilihan bebas setiap individu. Yang lebih penting adalah kemampuan untuk mengakui bahwa tubuh ideal adalah suatu kenyataan, bukan idealisme yang dibuat-buat. Kita harus mampu bersebelahan dengan seorang wanita bertubuh ideal tanpa merasakan menciutnya rasa percaya
diri, lalu menutupinya dengan pura-pura kasihan karena menganggapnya sebagai seorang korban.
Benar juga bila dikatakan bahwa kita tak perlu bertubuh langsing untuk merasa bahagia. Tapi tak ada yang bisa menyalahkan Anda bila merasa bahagia karena bertubuh langsing.