April 18, 2001

[a+ magazine] Manipulating My Mind, Musically

Trivia question: What music is in which the harmony is confused, charged with modulations and dissonances, the melody is harsh and little natural, the intonation difficult?

Suatu restoran di taman sebuah hotel berbintang, kami berdua duduk di sebuah spot di tepi kolam berhiaskan air mancur kecil. Malam hari, cahaya remang lilin, jarak antar meja memudarkan suara-suara hingga tinggal serupa bisikan. Para pelayan bergerak cepat bagaikan
sosok-sosok misterius yang siap sedia menyiapkan menu demi menu. Sayup-sayup masih terdengar suara kendaraan, tetapi begitu terpendam, seolah berasal dari dunia lain. Sesaat terasa segalanya mundur ke latar belakang yang samar, dan hanya keberadaan kami berdua yang terasa. Ah, ini pasti bukan Jakarta.

Di pojok sana, serombongan pemain musik dalam setelan hitam mulai menyiapkan alat-alatnya. Kiranya musik apakah gerangan yang tepat untuk suasana seperti ini? Saya mulai menyenandungkan One Fine Day-nya Natalie Merchant yang ngelangut itu. Dan detik berikutnya saya merasa seperti disiram seember air dingin begitu mendengar Copacabana yang bersemangat, lengkap dengan perkusi dan -ini dia- goyang pinggul sang penyanyi wanita. Dan anehnya, justru ditingkahi musik meriah itu, suara kendaraan jadi terdengar lebih keras dan saya mulai bisa mendengar gosip dari meja sebelah. Dan kenyataan hidup dengan segala hiruk-pikuk dan permasalahan kembali ke permukaan. Man, this is Jakarta.

Baiklah, katakan saja saya orang yang terlalu romantis sehingga merasa malam indah itu tercemar hanya karena lagunya tidak sesuai bayangan semula. Pasalnya saya memang selalu menggunakan musik sebagai alat bantu untuk melarikan diri dari -atau melarutkan diri pada-
suatu kenyataan.

Saya berani bertaruh, pasti semua orang pernah memutar lagu cengeng sambil menitikkan air mata pelan-pelan ke atas bantal, menikmati kesedihan itu sendiri, biasanya sih akibat masalah klise macam patah hati. Salah satu pilihan saya adalah You-nya Basille Valdez, liriknya
saja sangat cengeng: 'It's your smile, your face, your lips that I'll miss, those sweet little eyes...'. Tentunya sambil membayangkan siapa pun itu yang dianggap mematahkan hati ini. Pilihan yang lebih kuno dan begitu cengengnya hingga lama-lama membuat saya tertawa adalah dari tante Titiek Puspa dengan Cinta: 'Kejam oh kejam, pedih oh pedih, cinta ooooh cinta....' Saya pernah menyanyikannya di sebuah taksi bersama seorang teman, dengan suara melengking tak
sampai dan sopir taksi berulangkali melirik lewat kaca spion untuk mengecek apakah kami mabuk atau gila. Sometimes I really need being pathetic.

Tentu saja lirik memegang peranan penting dalam lagu, terutama dalam suasana cengeng seperti itu. Tapi irama musik itu sendiri berpengaruh sangat besar pada suasana hati dan pikiran. Ketika dikejar deadline persis seperti saat sedang mengetik tulisan ini -yang tertunda karena basically, I'm a lazy person-, suara-suara digitalized seperti One More Time dari Daft Punk itu mampu menumpulkan indra-indra perasa yang lain hingga yang tinggal hanya komputer dan pikiran saya sendiri. Mungkin karena bunyi digital itu begitu tidak alaminya sampai-sampai membuat saya jauh dari keberadaan fisik saya sendiri, some kind of virtual situation, I guess. Terlalu berlebihan, Anda bilang? Ya sudah kalau nggak percaya.

Yang ini bukan karangan saya dan Anda pasti sudah pernah membaca bahwa musik klasik yang diperdengarkan kepada ibu hamil membuat bayi yang dikandungnya tumbuh lebih pesat, lebih sehat, dan lebih pintar, seperti iklan susu bayi. Bagaimana kalau sang ibu lebih memilih Stan dari Eminem featuring Dido? Mungkin sang bayi akan mengalami depresi dini karena diekspos pada musik berupa rentetan kata tak putus yang menggambarkan obsesi tak sehat. Tapi alasan utamanya adalah, irama musik klasik ternyata paling sesuai dengan denyut jantung manusia. Karena itu, pikiran menjadi lebih tenang karena jantung tidak dipaksa berdenyut berlainan dengan seharusnya. Nah, rupanya itu menjelaskan kemunculan ladang bunga tulip warna-warni dalam pikiran tiap kali saya terekspos pada Suite No. 1- Forlane dari tuan J.S. Bach.

Mungkin musik klasiknya orang Jawa adalah tembang, karena ketenangan serupa juga selalu saya dapatkan bila mendengar ibu saya menembang 'halauma linta-lintu, ora rambut ora untu, ngiyup selaning nggaru, ...' (walaupun saya sama sekali tidak tahu artinya). Entah mengapa, tembang Jawa yang selalu banyak menggunakan nada-nada minor itu membuat suasana menjadi begitu bening dan bersih, kegelisahan terangkat dan perasaan saya begitu ringan. Tak salah bila tembang ini dulu sering dinyanyikan saat Maghrib di tempat pengungsian Eyang Kakung saya untuk menenangkan hati para pengungsi perang.

Selain memunculkan ladang bunga tulip dan membuat saya melayang dalam kehampaan, rupanya musik juga bisa memanipulasi pikiran dan perasaan sehingga saya merasa sedang jatuh cinta. Bukan salah saya dong, berduaan pada suatu malam di tepi pantai, lalu dengan penuh
perasaan Stevie Wonder melantunkan 'You are the sunshine of my life, that's why I'll always be around. You are the apple of my eye, forever you'll stay in my heart' dengan ketukan perkusi sangat nikmat hingga mata saya jadi berbinar-binar penuh cinta (padahal bukan). Well, thank you very much, Mr. Wonder.

Bila lagu-lagu romantis itu mendorong timbulnya perasaan cinta -sungguhan maupun bohongan-, musik bising justru lebih menimbulkan gairah seks. Yang bener? Rupa-rupanya bunyi yang berdentum-dentum itu mengacaukan irama jantung hingga aliran darah ke otak terganggu dan menimbulkan rasa gelisah. Lagipula suara musik yang begitu kerasnya itu tak memberi kesempatan pada akal sehat untuk berbicara. Bisakah Anda mendengar pikiran sendiri pada suatu Jumat malam di Retro? Sebuah riset menunjukkan bahwa lebih banyak pasangan yang melakukan hubungan seks usai menonton konser musik keras daripada resital piano Ananda Soekarlan, misalnya. Penonton resital piano mungkin lebih memilih untuk tidur dengan perasaan tenang, nikmat, dan damai, sedangkan pikiran gelisah para penonton musik keras masih mencari-cari penyaluran.... Mungkin Anda bisa memanfaatkan pengetahuan ini bila sewaktu-waktu diperlukan.

Beruntunglah saya karena memiliki berbagai pilihan musik untuk merangsang pikiran kreatif, mengiringi kecengengan, menimbulkan harapan, maupun meredakan kemarahan. Saya pikir lebih baik saya tidak menyatakan diri sebagai penggemar satu jenis musik saja agar tidak kehilangan berbagai perasaan berbeda itu. Biarlah saya jadi orang yang plin-plan dan bisa berubah mood dalam sekejap hanya karena mendengar musik tertentu, paling tidak itulah salah satu cara mengontrol pikiran ke arah yang saya inginkan. Dan karena saat ini saya sedang ingin menggoyangkan kaki sambil membayangkan suasana retro akhir 70-an (oh betapa spesifiknya), maka saya putarlah sebuah disko klasik tahun 1976 dari Osibisa, Dance The Body Music. 'Hear the music play, feel your body sway, hear the DJ say, oh, what a big smash, big smash... dance the body music....'

Trivia answer: Salah besar bila Anda mengira jawabannya adalah grunge music. Sebenarnya ini adalah penggambaran musik baroque -seperti karya Vivaldi atau Handel- dalam Dictionary of Music yang ditulis oleh Rousseau pada tahun 1768.