Apa yang dibutuhkan dari seorang teman? Pertanyaan salah.
Apakah arti teman buat Anda? A friend in need is a friend indeed. Yeah, yeah, yeah... kita sudah sering mendengar hal itu. Tapi, sebenarnya apa maksud pernyataan itu, kalau memang pernyataan itu benar?
Apakah berarti teman-teman Anda adalah mereka yang mampu memenuhi kebutuhan Anda saat ini? Lalu, bagaimana bila mereka tidak lagi Anda butuhkan, bukankah berarti tugas mereka sebagai teman telah tuntas, dan Anda siap mencari teman baru yang bisa memenuhi kebutuhan Anda? Bisa jadi demikian.
Kalau begitu, berarti jenis kebutuhan menentukan jenis teman yang Anda miliki. Mungkin bukan hanya jenisnya, tapi juga menentukan lamanya hubungan pertemanan Anda. Apa kebutuhan Anda? Apa yang menurut Anda merupakan suatu kebutuhan?
Seorang kenalan saya, sesama anggota Plaza Senayan Society, menceritakan sebuah kejadian yang disaksikannya suatu sore di mal besar itu. Sepasang artis pria dan wanita, cukup kondang, dan mempunyai hubungan khusus -semua orang tahu itu- sedang berbelanja di sebuah butik. Saking banyaknya belanjaan, mereka merasa perlu menyertakan seorang pria kurus yang nampak sangat gembira membawakan segala barang belanjaan itu. Walau cuma membawakan,
tanpa dibelikan apa pun, toh sang pria kurus nampak sangat bahagia menerima tugas tersebut. "Itu sih bukan teman, tapi memperbudak," mungkin Anda berpikir demikian.
Mari kita telusuri kebenaran pemikiran ini. Sang pria kurus merasa senang melakukan hal tersebut, mungkin karena kebutuhannya untuk diakui sebagai golongan artis dianggapnya terpenuhi. Pasangan artis itu pun merasa senang, karena kebutuhannya untuk diakui sebagai manusia berkuasa yang memiliki pengikut, nampaknya juga terpenuhi. So everyone's happy, and you're the only one complaining.
Kalau benar 'a friend in need is a friend indeed', maka mereka adalah teman-teman sejati yang saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Tuluskah hubungan pertemanan mereka? Justru lebih tulus daripada dugaan Anda. Menyedihkan? Tergantung bagaimana Anda melihatnya.
Bagaimana cara Anda mendapatkan teman menunjukkan kebutuhan Anda. Saya pernah mengenal seseorang yang setiap hari sibuk 'gaul' dan berteman demi memperluas networking-nya. C'mon, you're calling someone you've just met last night in some product launching party and say 'hello and let's get together sometime' tanpa pretensi apapun. That's not real. Jangan dikira bahwa ini semata-mata adalah usaha memperluas jaringan relasi untuk kelancaran kerja, alasan sebenarnya mungkin adalah keinginan untuk menguatkan status sebagai 'anggota' suatu kelompok sosial tertentu. Ironisnya, saat si social climber ini mulai mencoba berteman dengan saya, ini merupakan pengakuan tak langsung bahwa saya pun termasuk dalam suatu kelompok tertentu, suatu golongan 'elite' yang diidamkan. Atas pengakuan ini, saya boleh senang atau biasa saja, tergantung kebutuhan dasar saya pada awalnya.
Siapakah 'Anda'? Identitas diri memang sesuatu yang dirindukan dan diributkan setiap manusia. Coba saja berjalan-jalan ke -lagi-lagi- Plaza Senayan, dan temukan berbagai kelompok identitas di sana. Sekelompok wanita berusia tigapuluhan, dengan busana cukup seronok bernuansa cerah, rambut panjang yang menggulung di bagian bawah -pasti di-highlight-, duduk dalam cafe, pasti merokok, shopping bag terserak. Inilah kelompok ibu rumah tangga berkecukupan yang punya banyak waktu luang untuk dihamburkan. Baiklah, ini pandangan yang cukup sinis, tapi pasti ini yang terlintas dalam pikiran saat melihat kelompok tersebut. They all look alike. They need to look alike.
Sekelompok remaja, 13-15 tahun. Celana ketat, jaket sport dan T-shirt ketat warna-warni atau bermotif komik, sepatu olahraga terbaru yang didisain memisahkan jempol. Rambut gondrong di depan, pendek di belakang, yang wanita memakai jepit rambut di kiri dan kanan. Berjalan berombongan di sekitar bioskop atau toko kaset, tangan di saku atau memegang ponsel kecil warna-warni. 'Ah, kelompok brondong,' terlintas di pikiran. They all look alike. They need to look alike. Spooky.
Mengapa mereka butuh untuk nampak sama? Karena itulah persyaratan paling primitif untuk diterima menjadi anggota suatu kelompok. Itulah sebabnya mengapa bayi simpanse yang lahir albino ditinggalkan di hutan oleh kelompoknya. Dan itulah sebabnya saat berada dalam sebuah party, sering dijumpai pemandangan serupa yang berulang-ulang seperti sudah menjadi skenario hapalan semua anggota kelompok. 'Chris! Chris! (bisa diganti nama lain) Aduh, ke mana aja sih... (cium pipi kiri dan kanan)? Tambah cakep aja..., gimana salon/kantor/kerjaan/anak? Wah, keren banget cardigan-nya, beli di mana?' Lalu, bila ada orang lain yang belum dikenal, tapi dianggap layak, maka 'Eh, udah kenal sama... (memperkenalkan). Dia ini adalah... (jabatan) dari... (perusahaan), lho!' Setelah berbasa-basi sejenak, pergi sambil berucap, 'Gue jalan dulu ya, jangan lupa telepon-telepon... (cium pipi
lagi).' Ah, bahkan kata-kata yang digunakan pun kurang-lebih sama!
Ayolah, mana orisinalitas Anda? Paling tidak, gunakan vocabulary yang berbeda.... Atau Anda takut melanggar 'aturan' yang berlaku? Takut teman-teman Anda akan terkejut dan kemudian menganggap Anda berbeda, tak lagi pantas masuk kelompok tersebut? Dan sebenarnya, inti dari semua itu adalah, Anda takut tak punya identitas, Anda takut sendirian, Anda takut kesepian. Karena itu Anda berdandan sebagaimana gaya berdandan kelompok yang ingin Anda masuki, dan berbicara sesuai gaya bicara kelompok yang ingin Anda ikuti. Apakah Anda selalu menggunakan bo atau nek, menggunakan istilah insecure dan elitis? Apakah Anda yakin bahwa Anda memang ingin membicarakan boots dengan hak bermotif tulang ikan Bottega Venetta, kosmetik keluaran Prada, kebijaksanaan Gus Dur, atau novel Supernova?
Perhatikan teman-teman Anda. Yakinkah Anda bahwa Anda memang ingin bersama mereka, ingin seperti mereka? Are you sure that you're my friend?
Pada suatu malam, saya naik taksi dari sebuah mal -tebak namanya- menuju rumah saya, jauh di Pondok Labu. Hujan deras dan rasa lelah membuat saya membiarkan sang sopir taksi yang kesepian tiba-tiba menceritakan masalah keluarganya. Istrinya yang cantik, mertua yang menganggapnya tak pantas untuk anak mereka, perjuangan mereka hingga akhirnya menikah dan beranak dua. Ketak-sanggupannya mencari pekerjaan yang menghasilkan lebih banyak uang, paksaan mertua untuk bercerai. Saya hanya memberikan komentar dan gumam singkat, sekedar menunjukkan bahwa saya mendengarkan.
"Tapi saya mencintainya, mBak!" katanya, tiba-tiba emosi sambil menoleh ke belakang. Wah, pernyataan cinta, keluar dari mulut seorang laki-laki Indonesia, sopir taksi, kepada istrinya sendiri pula, ini bukan main-main. Maka saya pun menegakkan tubuh dan mulai mencurahkan perhatian. Bagi kami berdua saat itu, tak ada masalah yang lebih besar daripada mencari cara memenangkan hati mertuanya. Dunia hanyalah seluas taksi, isi dunialah hanya kami berdua dan masalah itu. Sewaktu turun, saya membayar sambil mengucapkan 'selamat berjuang' atau semacamnya. Ia memandang saya dan berkata, "Terimakasih." Saya tahu, terimakasihnya
lebih dalam daripada sekedar rupiah di tangannya. Maka sesuai dengan azas di atas, 'a friend in need is a friend indeed', maka saya dan sopir taksi tadi telah berteman, selama kurang lebih dua jam.
Akhirnya, ada juga alasan lain untuk berteman.