August 15, 2001

[a+ magazine] Pokoknya Globalisme, Titik

Sebelum bicara soal pentingnya globalisme, saya harus mengerti dulu apa maknanya.

Sebenarnya ini salah saya sendiri yang selalu datang terlambat ke kantor, akibatnya ketinggalan rapat yang membahas tema bulan ini, yaitu globalisme. Yang jadi masalah, saya sama sekali tidak mengerti makna kata itu. Selama ini globalism hanyalah sebuah BIG WORD, sesuatu yang sering terdengar tapi tak pernah saya pikirkan benar maknanya. Ini benar-benar pukulan besar buat ego saya yang kelewat besar itu. Astaga, ternyata saya tidak sepintar yang saya duga sebelumnya. Apa dong yang harus saya tulis?

Saya akan mencoba memikirkannya. Samar-samar terngiang kata-kata dosen interior saya sekitar empat tahun lalu, “Indonesia akan memasuki era globalisasi pada tahun 2003, bersiap-siaplah menghadapi persaingan ketat di pasar kerja bebas.” Waktu itu bukan bu dosen saja yang sibuk memperingatkan tentang kedatangan era globalisasi, media massa juga sibuk membicarakan hal sama. Maksudnya kira-kira begini, bila era globalisasi telah tiba, maka SDM Indonesia tak lagi dibedakan dengan SDM dari manca negara. Maka hanya mereka yang mau bersikap terbuka, berani menghadapi tantangan, dan selalu meningkatkan kualitas pribadinya yang bisa menang di persaingan seketat ini.

Hah? Bagaimana tadi? Sebelum saya sempat memikirkan lebih lanjut, whoosh...! Manusia Indonesia memang mudah berubah, mungkin karena super kreatif. Jangankan menunggu datangnya tahun 2003, hanya dalam setahun, topik globalisasi sudah berganti menjadi kekuatiran tentang lapisan ozon yang berlubang. Penyebabnya adalah polusi yang tak tertanggulangi, dengan berbagai dampak buruk, seperti punahnya spesies tertentu hingga meningkatnya jumlah penderita kanker kulit. Sibuklah dunia membicarakan masalah ini.

Lubang masih menganga ketika topik berikutnya datang: Y2K. Lalu banjirlah berbagai informasi mengenai millenium bug ini, dari tidak berfungsinya jam digital, lampu lalu-lintas mati, hingga kacaunya sistem perbankan. Seram, sih. Hanya sepertinya agak terlambat untuk panik atas sesuatu yang sudah di depan mata, sementara sistem dua digit itu sudah digunakan sejak komputer diciptakan.

Ternyata tidak ada yang rusak. Maka seperti balon kempes, menghilanglah sang kutu millenium ini. Selamat datang, naga emas! Tiba-tiba -mungkin bosan dengan hal-hal canggih- muncullah topik-topik peruntungan seperti shio, fengshui, ramalan Nostradamus, Ronggowarsito, dan kedatangan satria piningit. By the way, ternyata saya tidak sedang mendisain interior rumah seorang pejabat, tetapi sudah pindah ke sekolah mode, bekerja di bank, di majalah dewi, dan akhirnya di majalah yang Anda pegang ini. Mungkin saya memang manusia Indonesia sejati yang mudah berubah karena super kreatif tadi.

Tunggu sebentar, bagaimana dengan globalisme? Marilah kita menganggap topik ini sebagai sesuatu yang tak pernah usang, bukan hanya trend pembicaraan yang sudah ketinggalan jaman. Baiklah, jadi globalisme adalah: sebuah isme –aliran ilmu pengetahuan- yang berkenaan dengan menyatunya seluruh penduduk dunia dalam segi informasi yang diperoleh, cara berpikir, dan status sosial. Sebagaimana semua isme lainnya, maka semua ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup umat manusia.

Bicara soal informasi, berarti ini masalah komunikasi. Dalam sebuah dunia global ideal, suatu kejadian di tempat berjarak ribuan kilometer bisa diketahui dalam beberapa menit seolah terjadinya di rumah tetangga sendiri. Telepon, ponsel, internet, satelit, radio, televisi menghubungkan manusia-manusia yang seratus tahun lalu tidak mungkin saling berjumpa hingga akhir hayat. Tanpa perlu pergi ke manapun, tanpa bertatap langsung dengan siapa pun, kita bisa tahu tentang hampir apa pun hanya lewat memencet tombol-tombol.

Sounds great, huh? Tapi, benarkah kita perlu semua informasi itu? Benarkah kita perlu tahu tentang segala hal yang terjadi? Kenyataannya manusia sering tidak bisa menyortir informasi yang dibutuhkannya. Maka kita sering mendengar tentang orang yang kecanduan telepon, internet, atau menjadi potato couch di depan televisi. Semua alat telekomunikasi itu hanya bisa menyampaikan informasi mengenai kehidupan secara garis besar saja. Melalui alat-alat itu, kita hanya bisa tahu, tetapi tidak merasakan. Dalam ‘Manusia Kamar’, Seno Gumira Adjidarma menggambarkan seseorang yang tinggal dalam kamar tertutup tanpa kontak sosial langsung sama sekali, tetapi tak pernah ketinggalan informasi dunia dengan bantuan berbagai alat komunikasi. Cerpennya bagus, mas. Bila tak hati-hati, segala kecanggihan itu bisa membuat kita menjadi orang yang serba tahu sekaligus tidak tahu apa-apa.

Kalau globalisme berarti manusia tak lagi dibedakan berdasarkan suku, agama, maupun rasnya, saya setuju saja. Manusia memang dilahirkan sama, setingkat dan sederajat. Tapi entah kenapa, manusia butuh untuk dibeda-bedakan. Saat masalah SARA tak lagi membeda-bedakan manusia, ada saja alasan lain untuk berkelompok. Ibu saya mengaku sebagai seorang tradisionalis, musik yang bisa dinikmati hanyalah dari jaman Frank Sinatra dan berhenti sampai pada Broery Pesulima. Jangankan Radiohead, lagu Krisdayanti saja dianggapnya tak memilki ‘irama’. Jangan bicara soal membuka pikiran kepadanya, pokoknya jaman dulu lebih enak, titik. Buktinya, BuDhe dan PakDhe juga berpendapat sama.

Itu baru ‘gang’ tradisionalis, or should I say, just plain old-fashioned? Saya pernah punya teman yang mengaku punker, mencampur lem ke rambutnya agar seperti jajaran tombak, memakai jeans ketat berpeniti, dan kaus ketat lengan panjang bermotif bendera Inggris. Melalui internet, ia berhubungan dengan para punker dari seluruh dunia, tanpa peduli ras dan bahasa, punk is so cool. Adik teman saya adalah ‘anak Indie’, dengan poni panjang hingga ke dagu dan hanya mendengarkan musik Blur, Oasis, dan sejenisnya. Sebagai ‘anak Indie’, maka ia sangat ‘cool’, tidak banyak bicara kecuali dengan kelompoknya dan bersikap seakan-akan tidak butuh perhatian dan pendidikan.

Bukan hanya jenis musik yang bisa dijadikan alasan berkelompok, hobi dan pekerjaan juga sering digunakan. "Seniman seperti kita ini, seringkali kurang bisa diterima masyarakat," ini menurut seorang teman kepada saya sambil mengemukakan berbagai ide kontroversialnya. Eh, situ aja yang seniman, saya mah bukan. Ada juga kelompok yuppies yang ditandai dengan pendidikan luar negri dan selalu berbicara dengan tambahan bahasa Inggris di sana-sini, atau generasi gen-X, suka clubbing tapi juga memperhatikan masalah sosial, dengan pikiran bergerak cepat seperti lintasan adegan-adegan film independen.

Baiklah, mungkin globalisme cuma berarti berlimpahnya kebebasan. Anda bebas mempunyai ide dan menyatakannya, bebas melakukan apa saja, bebas menjadi apa saja. Tetapi kebebasan ternyata jauh lebih berat daripada keterikatan. Bebas berarti Anda harus siap berpikir sendiri, mengambil keputusan sendiri, dan mempertahankannya bila ternyata diprotes orang lain. Kebebasan bisa jadi berujung pada kesendirian. Nah, apakah Anda merasa bebas, atau ternyata sudah memutuskan untuk tetap terikat?

Kesimpulannya, globalisme tidak memberi kontribusi positif pada kehidupan manusia. Tunggu dulu, benarkah begitu? Tidak, globalisme adalah konsep yang sangat ideal, masalahnya ada pada manusia yang tidak sanggup menerima konsekuensinya. Bila manusia tetap saja berkelit dari kebebasan yang ditawarkan globalisme serta hanya mau memanfaatkan kemudahannya saja, maka globalisme tinggal menjadi ide utopis belaka. Ini tidak semudah memasang foto wanita kulit hitam berdampingan dengan pria kulit putih -atau sebaliknya-. Saya tidak tahu apakah ini melambangkan globalisme atau justru malah menekankan perbedaannya.

Tapi sebelum membicarakan penyelewengan makna globalisme, mungkin seharusnya saya pikirkan dulu kenyataan yang ada. Nyatanya, saya masih sering mendengar pembicaraan orang yang bocor lewat telepon rumah, SMS yang saya kirim hari Senin baru sampai hari Kamis, dan televisi masih menayangkan sinetron yang cerita dan pemainnya hampir sama. Lalu baru saja melangkahkan kaki ke luar rumah, sudah ada umpatan berdasarkan suku, agama, atau, ras. Di daerah lain, malah sedang terjadi perang mengenai hal itu.

Sedangkan si punker tadi kini sudah memotong rambutnya, berdasi, dan menjual asuransi. Si ‘anak Indie’ sedang mengikuti kuliah manajemen dan sang seniman menikahi pacarnya karena takut hidup sendiri dan menyalahi norma sosial masyarakat. Talking about reality. Saya harus salut pada ibu saya yang tetap konsisten dengan ketradisionalannya.

Jadi, bagaimana? Topik globalisme tetap tidak menarik buat saya, mungkin cara berpikir saya yang terlalu dangkal. Bagaimana kalau saya menulis tentang tips-tips pemeliharaan anjing Shih-Tzu saja sebagai gantinya? Saya punya banyak sumber informasi mengenai hal ini, lho. Tidak boleh? Atau tentang cara memecahkan password sebuah email? Apa, ilegal? Yah, mungkin lain kali saya harus datang lebih pagi ke kantor. Tapi kali ini, saya benar-benar menemui jalan buntu.

Ada yang bisa membantu? Anyone? Anybody?