Walau bergelut di bidang yang sama, mereka berasal dari latar belakang dan budaya yang sama sekali berbeda. Mengapa akhirnya memilih tinggal di Bali?
Tak ada tempat yang memiliki begitu banyak sisi seperti Bali. Mereka yang hanya ingin bersantai dan menjauh dari kesibukan sehari-hari, lari sejenak ke Bali untuk menghilangkan kepenatan. Tapi Bali tak sekedar pulau liburan, tempat ini juga mampu menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang bergerak di bidang seni, seperti para desainer perhiasan ini. Rupanya ada sesuatu yang menarik di Bali. Mungkin budaya setempatnya yang memang menempatkan seni sebagai bagian hidup sehari-hari. Mungkin alamnya yang masih begitu menawan. Atau mungkin, Bali memang memiliki suatu daya tarik misterius. Paling tidak, begitulah beberapa alasan yang dikemukakan para desainer perhiasan ini.
Diana Dunk: Kembali Pada Tradisi
Pada awalnya, wanita asal Bandung berencana tinggal di Bali selama setahun untuk bekerja di bidang interior, sesuai dengan jurusan tekstil interior yang telah didalaminya di Institut Kesenian Jakarta. Lalu tiba-tiba, tak terasa hampir duapuluh tahun sudah berlalu.
Saat itu, ia tak langsung bergerak di bidang desain perhiasan. Bali yang begitu kaya memuaskan
keinginannya untuk mempelajari berbagai hal yang berhubungan dengan desain. Ia belajar banyak tentang berbagai bahan seperti kayu, kain, bambu, dan akhirnya emas, perak, serta bermacam batuan. Sekitar lima tahun yang lalu, ia memutuskan untuk melepaskan berbagai
pekerjaan desainnya dan menjadi ibu rumah tangga penuh. Ketak-betahannya untuk menganggur membuatnya mulai menggambar beberapa sketsa perhiasan, yang kemudian diwujudkan oleh suaminya. Akhirnya, dengan bantuan sejumlah perajin, ia memutuskan untuk lebih menekuni bidang perhiasan ini.
"Yang saya suka dari Bali adalah cratmenship-nya. Mereka (para perajin itu) sangat berbakat, mampu membuat apa saja. Buat mereka, berkarya merupakan suatu dharma, bagian hidup sehari-hari, sama seperti kita makan nasi atau bekerja," ujarnya.
Dalam berkarya, Diana memilih untuk berkutat dengan emas 22 karat. Ia juga banyak menggali ke dalam budaya Indonesia sebagai bahan inspirasi. Saat ia menikah, ibunya yang berdarah jawa memberikan seperangkat perhiasan emas kepada Diana. Saat itu, terpikir olehnya bahwa sudah begitu banyak perhiasan tradisional Indonesia yang sudah tak bisa ditemui lagi karena telah dibeli oleh para kolektor di luar negri. Di sinilah awal idealismenya untuk mengembalikan apa yang sudah lama ada dalam budaya Indonesia, untuk dikombinasikan dengan desain yang memungkinkan pemakaian sehari-hari.
Ia mencontohkan salah satu desainnya yang mengambil inspirasi bentuk giwang kuno dari Kalimantan. Diana memodifikasinya sehingga bentuk tersebut bisa dikenakan sebagai kalung atau cincin karena bentuk aslinya terlalu besar sebagai giwang.
Inspirasi ini memang terpancar pada berbagai desainnya yang memiliki bentuk-bentuk tradisional seperti spiral serta tekstur dan permukaan yang tak halus. Beberapa pelanggannya justru mengomentari desain Diana seperti perhiasan Eropa lama. Hal ini tak disangkal olehnya.
"Mungkin saja itu benar, budaya kita memang terpengaruh Spanyol, Portugis, dan Belanda di masa lalu."
Sebelum dua tahun terakhir, Diana hanya memasarkan karyanya di Amerika. Hal itu diawali dengan mengikuti pameran perhiasan di negara bagian Arizona, Amerika, yang berlangsung setahun sekali pada bulan Januari. Pemasarannya di Indonesia diawali dengan tawaran dari
Palanquin Bali, sebuah butik di Kuta, untuk menjual hasil karyanya. Tak sekedar menjual, Palanquin juga mempromosikan para desainer yang menjadi mitra kerjasama melalui berbagai bentuk promosi, salah satunya adalah dengan trunk show atau pameran. Walau tanpa ikatan kontrak khusus, promosi melalui Palanquin ternyata cukup efektif, banyak pelanggan baru yang datang. Kini, selain di Palanquin, Diana juga memasarkan karyanya di Amanjiwo, Jogjakarta.
Saat ini Diana tinggal di Pejeng, sebuah desa kecil yang sunyi di luar Ubud, bersama keluarganya. Rumah itu ditinggalinya sejak lima tahun yang lalu, setelah ia meningalkan Ubud yang sudah mulai ramai. Ia memilih tinggal di tempat-tempat yang sepi karena ingin
mendekatkan diri dengan kehidupan masyarakatnya. Lagipula Bali bukanlah tempat yang terlalu besar, hanya dengan setengah jam perjalanan, ia bisa pergi ke gunung atau pantai.
Sebuah konsep yang ia pelajari dari para perajinnya adalah tak adanya keterikatan pada karya yang dihasilkan. "Setelah selesai mengerjakan, mereka lepas dari karya itu. Tak ada keterikatan, karena mereka tahu akan ada hal baru yang lain lagi," jelasnya. Diana pun mempraktekkan konsep yang sama pada karya-karyanya. "Perhiasan saya yang sudah selesai,
lepas dari diri saya, karena kini ia telah memiliki tanggung jawabnya sendiri."
Dalia Brooks: Perak Kelas Tinggi
Bidang perhiasan bukanlah hal baru untuk wanita kelahiran Israel keturunan Yugoslavia ini. Ayahnya, Rafael Alfandary, adalah seorang desainer perhiasan yang sangat terkenal di Toronto, Kanada. Tak heran bila Dalia telah mulai membuat perhiasan pada usia tujuh tahun dan menjual karya pertamanya pada usia 12 tahun. Pada usia 19 tahun, ia telah membuka butik perhiasan sendiri, yang berkembang menjadi tiga buah saat usianya mencapai 21 tahun.
Ketika datang ke Bali 12 tahun yang lalu, keinginannya hanyalah untuk berlibur, bagian dari perjalanannya berkeliling dunia. Tapi di pulau itu, ia terpesona pada kemampuan para perajin setempat untuk menghasilkan berbagai karya perhiasan tradisional dengan biaya yang sangat murah. Segeralah timbul idenya untuk mengkombinasikan hal itu dengan desain dan teknik yang lebih modern.
Keinginannya itu diwujudkan dua tahun kemudian ketika ia kembali ke Bali dan mendirikan perusahaan perhiasan atas namanya sendiri. Paduan antara kreatifitas, pengalaman di bidang materi dan teknik, serta biaya produksi yang rendah, membuat hasil karyanya meraih sukses besar sewaktu dipasarkan di Amerika.
Walau berdomisili di Bali, ternyata workshop Dalia berada di pulau Jawa. Bali menjadi tempat tinggalnya, sekaligus tempat mengatur kegiatan bisnis. "Di sini saya bisa bekerja dengan cara yang sama sekali berbeda dengan waktu masih di Amerika. Hubungan saya dengan para perajin sangatlah dekat. Saya mencoba membantu mereka membuat perhiasan dengan cara yang lebih
modern," ungkapnya.
Kemodernan ini semakin dimungkinkan sejak ia menggunakan CAD (Computer Aided Design) untuk membantunya berkarya. Dalam hal ini, suaminya sangat membantu dalam menginterpretasikan desain Dalia dengan komputer. Hasil komputer ini kemudian dikirimkan ke workshop, dan hasil akhirnya sangatlah tepat. Dengan bantuan komputer, beberapa langkah bisa dilewatkan, sehingga pembuatan perhiasan menjadi lebih cepat dan presisi.
Karya-karya Dalia menggunakan perak lokal, yang dipadukan berbagai batuan berharga atau semi-berharga impor. Ia menyukai garis-garis yang bersih pada desainnya, misalnya dengan menggunakan kandungan perak lebih tinggi agar hasilnya lebih bersih dan lebih putih. Dalia mengakui bahwa sebenarnya ia dididik untuk menjadi perajin emas, tapi saat datang ke Bali, ia memutuskan untuk berpaling ke perak. Semua ini didasarkan pada pemikiran bahwa harga perak lebih terjangkau daripada emas, sedangkan ia juga ingin melakukan pemasaran secara lebih luas.
Bukan berarti perhiasan Dalia adalah kelas dua. "Memang sudah anggapan umum bahwa perak berada di kelas yang lebih rendah daripada emas. Jadi kami mencoba membuat perhiasan perak yang berkualitas tinggi, tak kalah berkelas tapi dengan harga yang lebih terjangkau," jelas suami Dalia.
Sebelumnya karya-karya Dalia dipasarkan di Amerika secara masal melalui berbagai toko dan katalog dengan nama lain. Kini, ia mulai meluncurkan koleksi atas namanya sendiri dengan kualitas yang lebih tinggi dan desain yang lebih khusus. Dan setelah bersusah-payah memikirkan nama yang tepat, Dalia dan suaminya memutuskan bahwa nama Dalia-lah yang paling tepat.
Saat ini, Dalia dan suaminya tinggal di daerah Seminyak, Bali. Di Bali jugalah ia bertemu suaminya, seorang fotografer, membentuk keluarga, dan bahkan kini, ibunya pun telah memutuskan untuk berpindah ke Bali. Saat ditanya apakah ia sering pulang ke Amerika? Dalia menjawab, "Tidak, rumah kami di sini sekarang."
Tricia Kim: Spiritual dan Keindahan Alam Bali
Tricia Kim lahir dan tinggal di Seoul, Korea, hingga berusia 6 tahun. Kemudian keluarganya memutuskan untuk pindah ke New York, Amerika. Bisa dikatakan New York adalah kampung halamannya kini. Ketertarikannya pada seni bermula sejak awal, karena itu ia mengikuti
pendidikan di berbagai sekolah seni di New York dan Paris.
Awalnya, Tricia berkutat pada pembuatan patung multi media serta pembuatan produk furnitur. Tapi bidang perhiasan mulai menarik hatinya sekitar 12 tahun yang lalu saat ia mengadakan perjalanan keliling Eropa, Amerika Tengah, Asia Tenggara, serta India dan Srilanka. Hingga saat ini, sudah 29 negara yang dikunjunginya.
Saat berkunjung ke Bali lima tahun yang lalu, Tricia akhirnya memutuskan untuk tinggal dan memusatkan bisnis desain perhiasannya di tempat tinggalnya di Ubud. "Menurut saya, semua orang menyukai Bali karena pulau ini seperti surga. Semuanya begitu indah, orang-orangnya, pemandangannya. Saat berada di studio, saya memandang ke luar dan melihat pohon-pohon kelapa serta kupu-kupu beterbangan. Rasanya begitu sejuk bagi jiwa saya," ia menjelaskan kecintaannya pada Bali.
Dan tentunya dari segi bisnis, "... saya dapat menghasilkan cukup banyak di sini dalam bidang desain perhiasan karena ada begitu banyak perajin berbakat yang sangat mudah diajak bekerjasama."
Tricia menggunakan berbagai material untuk perhiasannya, dari perak, emas 22 karat, berbagai batuan berharga dan semi-berharga, hingga karet dan tali sutera. Saat diminta mendefinisikan kecenderungan desainnya, Tricia menjawab, "saya banyak menggunakan teknik tradisional, tapi hasil akhirnya saya buat sendiri. Jadi... anggap saja kecenderungan desain saya adalah 'traditionally cutting-edge'." Setelah itu ia tertawa karena istilah itu ternyata hanya karangannya sendiri.
Ia memang tak terlalu memusingkan ke arah mana kecenderungan desainnya, karena kebebasan berkreasi lebih utama buatnya. Begitu juga caranya menggali inspirasi. Ia tak memiliki cara khusus untuk menemukan ide, kadang inspirasi datang begitu saja dan ia bisa langsung membuat sketsa. Kadang ia merenung dan menggali ke dalam diri sendiri untuk mencari inspirasi.
Ketika melakukan perjalanan ke negara-negara Asia Tenggara, Tricia mendapatkan banyak inspirasi spiritual dari berbagai kuil Hindhu dan Buddha yang dikunjunginya. Dipadukan dengan keindahan alam Bali, kedua pengaruh itu banyak ditemui pada berbagai hasil karyanya.
Tricia memiliki berbagai sumber yang memasok berbagai kebutuhan bahannya. Misalnya, batu-batuan didapatkannya dari India, Bangkok, New York, Afrika, dan berbagai tempat lainnya. Sedangkan bahan perak diperolehnya secara lokal. Ia bekerjasama dengan para perajin yang bekerja penuh di workshop-nya serta beberapa perajin lepas yang juga bekerja untuk desainer lainnya.
Dengan begitu banyaknya desainer perhiasan yang berada di Bali, ia mengaku tak takut pada persaingan. "Saya tahu di sini banyak sekali desainer perhiasan, tapi hampir semuanya memasarkan produknya untuk ekspor ke berbagai bagian dunia. Persaingannya memang cukup ketat, tapi saya yakin tempatnya juga masih cukup luas."
Tricia sendiri memasarkan karyanya dengan nama Nagicia ke Amerika, terutama New York, serta ke Swiss. Ia juga sedang menjajaki pasar di Hong Kong, Singapura, Tokyo, dan Jakarta. Nama Nagicia merupakan gabungan antara nama panggilannya, Naga, karena ia lahir di tahun naga, dengan nama aslinya, Tricia.
Beberapa kali dalam setahun, Tricia kembali ke New York untuk melakukan berbagai hal yang tak bisa dilakukannya di Bali. Ia mengunjungi museum dan pertunjukan, serta bertemu keluarga serta kawan-kawan. Sesudah itu, ia pun kembali ke studionya yang sepi di luar desa Ubud. "It's a healing place."
B. Filippos
Sebenarnya pria kelahiran Yunani ini lebih dikenal sebagai pematung dengan media terutama marmer. Lahirnya pun di daerah penambangan marmer di Yunani Tengah. Ia mempelajari budaya Yunani kuno, serta melakukan berbagai eksperimen dengan berbagai media, dari kayu hingga marmer.
Saat berusia 27 tahun, Filippos mulai melakukan perjalanan ke Inggris, Spanyol, dan Bali. Seperti juga rekan-rekannya yang lain, ia pun akhirnya memutuskan untuk tinggal di Bali hingga saat ini telah lebih dari 10 tahun. "Saya jatuh cinta pada tempat ini. Saya merasa seperti di rumah, karena itu saya memutuskan untuk tinggal di sini."
Filippos memilih untuk tinggal di Ubud karena komunitasnya yang artistik, dengan begitu banyak seniman pelukis maupun pematung yang tinggal di sana. Ia membandingkan Ubud dengan Legian, yang untuk Filippos, terasa lebih berorientasi bisnis.
Di sela-sela kesibukannya sebagai pematung, Filippos masih sempat melakukan hobinya, yaitu melakukan perjalanan ke berbagai tempat yang eksotis. Ia telah mengunjungi Mesir, Mongolia, Kamboja, Meksiko, India, Cina, Srilanka dan berbagai negara lainnya. Di setiap tempat, ia selalu menyempatkan diri berkunjung ke daerah pertambangan untuk membeli berbagai batuan yang menarik hatinya. Untuk Filippos, cara ini terasa lebih misterius dan menarik dibandingkan membeli batuan dalam sebuah acara pameran, misalnya.
Kadang ia mendapatkan inspirasi dari batuan yang didapatnya, dari tekstur, bentuk, atau warnanya. Dari situlah, ia kemudian mengembangkan desain yang sesuai untuk batuan tersebut.
Filippos tak membedakan pekerjaannya sebagai pematung atau desainer perhiasan. Sewaktu mengerjakan keduanya, ia bisa menggunakan materi yang sama, emas dan batuan tak hanya untuk perhiasan, tapi juga untuk patung setinggi satu meter lebih. Walau, tentu saja ia tak menggunakan marmer sebagai bahan perhiasan. Filippos menjelaskan, "Kedua hal itu (patung dan perhiasan) bisa saling membaur, karena untuk saya, perhiasan adalah suatu bentuk patung mungil."
Filippos mendefinisikan kecenderungan karyanya sebagai sedikit tradisional. Ia selalu berusaha membuat karya yang memancarkan sesuatu yang kuno, seolah-olah telah diciptakan ratusan tahun yang lalu. Pengaruh berbagai kepercayaan spiritual serta simbolisme yang diperolehnya selama melakukan perjalanan juga terasa kuat pada patung maupun perhiasannya.
Inspirasi bukanlah hal yang sukar didapat, karena menurut Filippos, inspirasi ada di mana-mana. "Saya bisa menemukan inspirasi pada hidup itu sendiri, pada orang-orang lain, pada batuan, dari dalam diri saya, di mana-mana. Semuanya adalah soal keindahan."
Ia pun tak terlalu memikirkan pemasaran karyanya. Rupanya ia lebih suka bila karyanya tetap menjadi sesuatu yang eksklusif ketimbang komersil. Filippos mengakui bahwa pemasarannya membaik bila ia memfokuskan diri pada hal itu. Tapi ada saat-saat tertentu di mana ia merasa terlalu sayang pada hasil karyanya, dan memilih untuk menyimpannya saja.
Caranya memandang hidup memang begitu bebas lepas dan seperti tanpa beban. Seperti ketika ditanya soal sampai kapan ia berencana tinggal di Bali, Filippos menjawab, "Anda bicara soal masa depan? Well, masa depan saya di sini, sekarang, saat saya sedang bicara dengan Anda. Saya selalu mencoba berada di masa kini." Ia menambahkan, "Bila Anda selalu mencoba menikmati saat sekarang, maka saat sekarang ini bisa hidup selamanya. Dan itulah caranya merasakan hidup."
August 08, 2002
July 08, 2002
[Harper's Bazaar] PUBLISITAS KARPET MERAH
'I'm wearing Jean Paul Gaultier, Prada, Yves Saint Laurent and Donna Karan. Everybody.' (Sting, karpet merah malam Oscar 2002)
Inilah malam yang ditunggu dengan hati berdebar. Bukan hanya oleh para aktris dan aktor unggulan serta insan perfilman lainnya, tapi juga oleh para desainer busana dan perhiasan yang dikenakan para bintang. Buat mereka, bukan acara puncak yang paling penting, tapi sebelumnya, the red carpet. Malam ini, karya mereka akan melintasi karpet merah di Kodak Theatre, Hollywood, tempat perayaan Oscar ke-74 diselenggarakan.
Karpet merah ini bagaikan catwalk dengan para pengamat dan kritikus mode ketat mengawasi. Lampu dan kamera menyorot terang. Senyum dipasang. Langkah dijaga. Lambaikan tangan dan pasang telinga pada setiap teriakan pertanyaan, 'Who are you wearing?' Ini saat-saat yang paling kritis. Setiap kesalahan -walau sedikit- akan dikenang untuk jangka waktu yang cukup
lama. Dan bila kesalahannya fatal, sang artis akan dikenang selamanya.
'Sebenarnya para bintang sangat ngeri bila sampai membuat kesalahan, karena hal itu takkan dilupakan paling sedikit setahun kemudian,' ungkap Rachel Zoe Rosenzweig, stylist yang pernah bekerjasama dengan aktris Toni Collette. Karena itu, kebanyakan artis memilih busana yang indah tetapi aman. Itulah sebabnya, apa yang nampak di karpet merah biasanya
mudah ditebak. Spaghetti straps. Gaun dan payet. Berlian.
Tapi, tetap saja karpet merah menjadi incaran desainer yang ingin karyanya dikenakan para bintang. Carlos Souza, kepala bagian humas Valentino, memperkirakan rumah modenya mendapat publisitas cuma-cuma senilai 25 juta US dollar tahun lalu dari pemunculan di televisi
dan majalah. "Itulah keuntungannya mendandani para pemenang," ungkapnya. "Luar biasa besar."
Pendapat serupa diungkapkan oleh Anne Fahey dari rumah mode Chanel di New York. Nilai publisitas dari penampilan seorang bintang tak hanya bertahan semalam, tapi bisa bertahun-tahun lamanya. Foto-foto Marisa Tomei dalam gaun Chanel hitam-putih di tahun 1993 masih muncul di berbagai majalah. Tahun lalu, kliping dari media massa yang menunjukkan Jennifer Lopez dalam gaun chiffon Chanel abu-abu memenuhi empat ring-binder. Nilai publisitasnya? "Sekitar 7 juta US dollar," kata Fahey.
Tentu saja busana maupun siapa yang memakainya harus ditentukan dengan sangat hati-hati. Salah-salah, yang didapatkan justru nama buruk. Karena itu, begitu nominasi pemenang diumumkan, Carlos Souza dan Valentino langsung mengadakan rapat untuk menentukan aktris yang tepat menjadi 'target' untuk didandani. Surat undangan segera dikirimkan, ditandatangani oleh sang desainer secara pribadi. Banyak surat kembali yang meminta vintage dress -mengikuti jejak Julia Roberts tahun lalu-, terpaksa ditolak. "Museum sudah ditutup. Kini Valentino membuat couture modern," jawab Souza.
Kali ini, Souza dan Valentino berhasil mendapatkan tiga bintang, Reese Witherspoon, Kate Beckinsale, dan Sandra Bullock.
pucat. Sayangnya, tak semuanya sukses mengenakan warna pucat. Paduan gaun Chanel couture pink pastel dan kulit putih Nicole Kidman memang pucat, tapi justru membuatnya nampak seanggun peri, tentu karena ditunjang wajah dan tubuhnya (dan tentu saja, gaun Chanel couture-nya).
Tapi Jenifer Connelly, aktris pembantu terbaik, yang mengenakan gaun chiffon Balenciaga dalam warna beige malah nampak kurang darah. Ini terutama karena scarf warna pucat yang melingkari lehernya, walau kreatifitasnya memadukan dress dan scarf patut mendapat pujian.
Paduan pucat juga ditampilkan Kirsten Dunst dengan gaun Dior-nya yang gemerlapan, Audrey Tatou -pemeran Amelie- dalam gaun Alberta Ferretti, Helen Mirren dan Jodie Foster dengan gaun Giorgio Armani, serta Jennifer Lopez yang kembali mengenakan Versace. Tahun ini, Lopez mendapat kritikan -bukan karena gaunnya- tapi karena tatanan rambutnya yang dianggap lebih cocok untuk ratu kecantikan Texas.
Warna hitam kembali membuktikan diri sebagai warna paling aman dan anggun. Reese Witherspoon mendapatkan banyak pujian atas gaun lace dengan cap sleeve Valentino-nya. Dipadukan dengan tatanan rambutnya dan lipstik merah, ia tampil bagaikan bintang Hollywood
tahun 50-an. Pilihan hitam juga mengantar Sandra Bullock sebagai kandidat busana terbaik. Seperti Witherspoon, ia juga mengenakan karya Valentino. Julia Roberts dengan gaun Giorgio Armani juga mendapatkan pujian karena berkesan sangat modern dan simple setelah penampilannya yang cukup 'berat' dalam vintage Valentino tahun lalu.
Sebagai warna yang paling aman, kebanyakan artis yang memilih hitam memang mendapat pujian karena nampak anggun, misalnya Renee Zellweger dan gaun Carolina Herrera, Marisa Tomei dan rancangan Jurgen Simonsen, Sharon Stone dalam Versace, Uma Thurman 'sexy mom' dalam Jean Paul Galtier, serta Helen Hunt yang nampak seksi dengan Gucci.
Pemakai hitam paling dikecam adalah Gwyneth Paltrow, yang ironisnya selalu dianggap sebagai seorang fashion icon. Perpaduan gaun Alexander McQueen dengan tatanan rambut kepang dan makeup bergaya gothic nampaknya lebih cocok di atas runway daripada di karpet merah yang terbiasa dengan kecenderungan klasik.
Tak semuanya memilih penampilan 'aman' hitam atau pucat. Kate Winslet dengan gaun merah Ben de Lisi tampil sebagaimana layaknya seorang bintang, seksi dan berani. Sedangkan Laura Elena Harring dengan gaun Versace mendapat sorotan justru karena aksesorinya yang luar biasa mahal.
Cameron Diaz tampil berbunga-bunga dalam gaun kimono dari Ungaro Couture, dipadukan scarf dan rantai di pinggang membuat penampilannya terlalu ramai, apalagi dengan rambut berkesan acak-acakan. Tapi nampaknya ia tak peduli, karena menurut Diaz, gayanya itu adalah
seratus persen menampilkan kepribadiannya.
Pemenang aktris terbaik tahun ini, Halle Bery, memilih karya perancang kelahiran Libanon Elie Saab yang menurut kritikus 'mengandung resiko tinggi'. Maksudnya? Gaun yang bagian atasnya dari tulle trasnparan dengan penempatan motif daun yang strategis itu sebetulnya cukup vulgar, tetapi karena yang mengenakannya secantik Halle Berry, maka masih termasuk seksi dan dapat 'dimaafkan.
Busana para bintang pria pun mendapat sorotan walau tak sebanyak yang wanita. Will Smith patut mendapat predikat busana terbaik dengan jaket Ozwald Boateng dan dasi emas yang sangat mengusir kebosanan tux-and-black tie. Giorgio Armani menjadi pilihan terbanyak para bintang pria. Misalnya Samuel L. Jackson dengan brocade evening coat yang nampak stylish, Russel Crowe dengan tuxedo hitam, serta pemenang aktor terbaik, Denzel Washington, yang
memilih tuxedo warna midnight blue.
Malam Oscar bisa saja berlalu, tetapi busana-busana yang melintasi karpet merah masih tetap dilihat dan dibicarakan. Kita masih saja kagum pada gaun Valentino tahun 1982 yang dikenakan Julia Roberts tahun lalu, gaun Versace dengan garis leher sampai ke pusar yang dikenakan Jennifer Lopez dua tahun lalu, juga keberanian Bjork mengenakan gaun 'angsa karya Marian
Pejoski yang dikritik habis-habisan.
Yang jelas, agar selalu diingat dalam jangka waktu yang lama, pilihannya adalah menjadi the best dressed atau the worst dressed. Pilihan busana yang aman memang pasti akan terhindar dari kritikan, tapi juga takkan diingat orang. Tak heran para bintang pun berlomba-lomba dengan penampilan, kalau bisa paling bagus, paling buruk pun mungkin tak apa.
Lagipula, bad publicity is a publicity after all.
Inilah malam yang ditunggu dengan hati berdebar. Bukan hanya oleh para aktris dan aktor unggulan serta insan perfilman lainnya, tapi juga oleh para desainer busana dan perhiasan yang dikenakan para bintang. Buat mereka, bukan acara puncak yang paling penting, tapi sebelumnya, the red carpet. Malam ini, karya mereka akan melintasi karpet merah di Kodak Theatre, Hollywood, tempat perayaan Oscar ke-74 diselenggarakan.
Karpet merah ini bagaikan catwalk dengan para pengamat dan kritikus mode ketat mengawasi. Lampu dan kamera menyorot terang. Senyum dipasang. Langkah dijaga. Lambaikan tangan dan pasang telinga pada setiap teriakan pertanyaan, 'Who are you wearing?' Ini saat-saat yang paling kritis. Setiap kesalahan -walau sedikit- akan dikenang untuk jangka waktu yang cukup
lama. Dan bila kesalahannya fatal, sang artis akan dikenang selamanya.
'Sebenarnya para bintang sangat ngeri bila sampai membuat kesalahan, karena hal itu takkan dilupakan paling sedikit setahun kemudian,' ungkap Rachel Zoe Rosenzweig, stylist yang pernah bekerjasama dengan aktris Toni Collette. Karena itu, kebanyakan artis memilih busana yang indah tetapi aman. Itulah sebabnya, apa yang nampak di karpet merah biasanya
mudah ditebak. Spaghetti straps. Gaun dan payet. Berlian.
Tapi, tetap saja karpet merah menjadi incaran desainer yang ingin karyanya dikenakan para bintang. Carlos Souza, kepala bagian humas Valentino, memperkirakan rumah modenya mendapat publisitas cuma-cuma senilai 25 juta US dollar tahun lalu dari pemunculan di televisi
dan majalah. "Itulah keuntungannya mendandani para pemenang," ungkapnya. "Luar biasa besar."
Pendapat serupa diungkapkan oleh Anne Fahey dari rumah mode Chanel di New York. Nilai publisitas dari penampilan seorang bintang tak hanya bertahan semalam, tapi bisa bertahun-tahun lamanya. Foto-foto Marisa Tomei dalam gaun Chanel hitam-putih di tahun 1993 masih muncul di berbagai majalah. Tahun lalu, kliping dari media massa yang menunjukkan Jennifer Lopez dalam gaun chiffon Chanel abu-abu memenuhi empat ring-binder. Nilai publisitasnya? "Sekitar 7 juta US dollar," kata Fahey.
Tentu saja busana maupun siapa yang memakainya harus ditentukan dengan sangat hati-hati. Salah-salah, yang didapatkan justru nama buruk. Karena itu, begitu nominasi pemenang diumumkan, Carlos Souza dan Valentino langsung mengadakan rapat untuk menentukan aktris yang tepat menjadi 'target' untuk didandani. Surat undangan segera dikirimkan, ditandatangani oleh sang desainer secara pribadi. Banyak surat kembali yang meminta vintage dress -mengikuti jejak Julia Roberts tahun lalu-, terpaksa ditolak. "Museum sudah ditutup. Kini Valentino membuat couture modern," jawab Souza.
Kali ini, Souza dan Valentino berhasil mendapatkan tiga bintang, Reese Witherspoon, Kate Beckinsale, dan Sandra Bullock.
***
Malam Oscar tahun ini ditandai dengan warna-warna yang lebih lembut. Banyak pendapat menyatakan bahwa hal ini merupakan ungkapan keprihatinan atas serangan teroris pada bulan September. Kebanyakan artis memilih lagi-lagi- hitam, yang lainnya memilih warna-warna
pucat. Sayangnya, tak semuanya sukses mengenakan warna pucat. Paduan gaun Chanel couture pink pastel dan kulit putih Nicole Kidman memang pucat, tapi justru membuatnya nampak seanggun peri, tentu karena ditunjang wajah dan tubuhnya (dan tentu saja, gaun Chanel couture-nya).
Tapi Jenifer Connelly, aktris pembantu terbaik, yang mengenakan gaun chiffon Balenciaga dalam warna beige malah nampak kurang darah. Ini terutama karena scarf warna pucat yang melingkari lehernya, walau kreatifitasnya memadukan dress dan scarf patut mendapat pujian.
Paduan pucat juga ditampilkan Kirsten Dunst dengan gaun Dior-nya yang gemerlapan, Audrey Tatou -pemeran Amelie- dalam gaun Alberta Ferretti, Helen Mirren dan Jodie Foster dengan gaun Giorgio Armani, serta Jennifer Lopez yang kembali mengenakan Versace. Tahun ini, Lopez mendapat kritikan -bukan karena gaunnya- tapi karena tatanan rambutnya yang dianggap lebih cocok untuk ratu kecantikan Texas.
Warna hitam kembali membuktikan diri sebagai warna paling aman dan anggun. Reese Witherspoon mendapatkan banyak pujian atas gaun lace dengan cap sleeve Valentino-nya. Dipadukan dengan tatanan rambutnya dan lipstik merah, ia tampil bagaikan bintang Hollywood
tahun 50-an. Pilihan hitam juga mengantar Sandra Bullock sebagai kandidat busana terbaik. Seperti Witherspoon, ia juga mengenakan karya Valentino. Julia Roberts dengan gaun Giorgio Armani juga mendapatkan pujian karena berkesan sangat modern dan simple setelah penampilannya yang cukup 'berat' dalam vintage Valentino tahun lalu.
Sebagai warna yang paling aman, kebanyakan artis yang memilih hitam memang mendapat pujian karena nampak anggun, misalnya Renee Zellweger dan gaun Carolina Herrera, Marisa Tomei dan rancangan Jurgen Simonsen, Sharon Stone dalam Versace, Uma Thurman 'sexy mom' dalam Jean Paul Galtier, serta Helen Hunt yang nampak seksi dengan Gucci.
Pemakai hitam paling dikecam adalah Gwyneth Paltrow, yang ironisnya selalu dianggap sebagai seorang fashion icon. Perpaduan gaun Alexander McQueen dengan tatanan rambut kepang dan makeup bergaya gothic nampaknya lebih cocok di atas runway daripada di karpet merah yang terbiasa dengan kecenderungan klasik.
Tak semuanya memilih penampilan 'aman' hitam atau pucat. Kate Winslet dengan gaun merah Ben de Lisi tampil sebagaimana layaknya seorang bintang, seksi dan berani. Sedangkan Laura Elena Harring dengan gaun Versace mendapat sorotan justru karena aksesorinya yang luar biasa mahal.
Cameron Diaz tampil berbunga-bunga dalam gaun kimono dari Ungaro Couture, dipadukan scarf dan rantai di pinggang membuat penampilannya terlalu ramai, apalagi dengan rambut berkesan acak-acakan. Tapi nampaknya ia tak peduli, karena menurut Diaz, gayanya itu adalah
seratus persen menampilkan kepribadiannya.
Pemenang aktris terbaik tahun ini, Halle Bery, memilih karya perancang kelahiran Libanon Elie Saab yang menurut kritikus 'mengandung resiko tinggi'. Maksudnya? Gaun yang bagian atasnya dari tulle trasnparan dengan penempatan motif daun yang strategis itu sebetulnya cukup vulgar, tetapi karena yang mengenakannya secantik Halle Berry, maka masih termasuk seksi dan dapat 'dimaafkan.
Busana para bintang pria pun mendapat sorotan walau tak sebanyak yang wanita. Will Smith patut mendapat predikat busana terbaik dengan jaket Ozwald Boateng dan dasi emas yang sangat mengusir kebosanan tux-and-black tie. Giorgio Armani menjadi pilihan terbanyak para bintang pria. Misalnya Samuel L. Jackson dengan brocade evening coat yang nampak stylish, Russel Crowe dengan tuxedo hitam, serta pemenang aktor terbaik, Denzel Washington, yang
memilih tuxedo warna midnight blue.
Malam Oscar bisa saja berlalu, tetapi busana-busana yang melintasi karpet merah masih tetap dilihat dan dibicarakan. Kita masih saja kagum pada gaun Valentino tahun 1982 yang dikenakan Julia Roberts tahun lalu, gaun Versace dengan garis leher sampai ke pusar yang dikenakan Jennifer Lopez dua tahun lalu, juga keberanian Bjork mengenakan gaun 'angsa karya Marian
Pejoski yang dikritik habis-habisan.
Yang jelas, agar selalu diingat dalam jangka waktu yang lama, pilihannya adalah menjadi the best dressed atau the worst dressed. Pilihan busana yang aman memang pasti akan terhindar dari kritikan, tapi juga takkan diingat orang. Tak heran para bintang pun berlomba-lomba dengan penampilan, kalau bisa paling bagus, paling buruk pun mungkin tak apa.
Lagipula, bad publicity is a publicity after all.
June 08, 2002
[Harper's Bazaar] Maksimalis vs Minimalis?
Benarkah kecenderungan fashion di Indonesia hanya identik dengan mewah dan gemerlapan? Lalu bagamana dengan kesedehanaan dan kepraktisan? Ini tuntutan pasar atau keterbatasan kemampuan?
Anda baru saja membeli sebuah busana rancangan desainer Indonesia denga harga yang cukup mahal. Kira-kira seperti apa bentuknya? Kemungkinan besar busana Anda mengandung unsur payet dan gemerlap. Kemungkinan besar juga busana itu Anda beli untuk dipakai ke acara tertentu dan bukan untuk kegiatan sehari-hari. Kemungkinan besar demikian. Kalau salah, mohon dimaafkan.
Kenyataannya, kalau kita mendengar kata-kata 'rancangan desainer Indonesia', yang pertama terbayang adalah busana mewah dengan segala pernak-pernik dan detil cukup meriah. Jarang sekali kita menemukan rancangan desainer Indonesia yang bebas trimming dan detil, dan hanya mengandalkan kesempurnaan cutting dan kualitas material belaka. Terbersit pertanyaan, jangan-jangan kalau tidak dihiasi berbagai pernak-pernik, suatu busana tidak dianggap layak
mendapat predikat 'rancangan desainer' di Indonesia?
Mungkinkah masyarakat fashion Indonesia memang masih sementah itu? Jumlah nominal yang sudah dikeluarkan hanya dianggap impas bila hasilnya jelas-jelas mewah dan gemerlapan. Karena itu, rancangan bergaris minimalis dengan detil sederhana tak mendapatkan pasar di sini. Tapi, sepertinya terlalu dini bila kita mengambil kesimpulan semudah itu.
Mari kita lembali ke akar budaya, seperti kebanyakan negara Asia lainnya, Indonesia sangat kaya dengan ragam busana dan tekstil tradisional yang semuanya penuh motif dan warna. Detail yang rumit, payet dan manik, serta pekerjaan tangan yang teliti merupakan ciri yang tak asing. Dulu, status sosial seseorang bisa dilihat jelas dari 'kekayaan' yang dikenakannya.
Walau kini soal status tak bisa dinilai semudah itu, tapi kebiasaan tampil 'kaya' rupanya masih terbawa sampai sekarang, walau tak lagi berciri tradisional.
Soal status ini dibenarkan juga oleh Erick Roland, buyer Versace untuk Indonesia. Butik yang dikenal dengan garis maksimalis kental ini memiliki sejumlah pelanggan yang bisa dikatakan fanatik. "Customer kami senang berpenampilan meriah, mereka tidak memilih ke butik A (menyebut suatu nama) karena garisnya dianggap terlalu sederhana. Mereka memang senang kelihatan bermerek," ungkapnya.
Lalu sebagian besar expatriat yang berbelanja di butik Versace Indonesia umumnya berasal dari Afrika. Tapi konsumen tetapnya kebanyakan masih orang Inonesia sendiri, yang tak segan berdandan head-to-toe dalam motif Versace. Ada miripnya dengan kaitan fashion Indonesia dengan akar budayanya. Benua Afrika juga dikenal dengan kemeriahan warna dan detil, jadi
nampaknya kecenderungan tampil 'meriah' terbawa hingga sekarang. Lihat saja penampilan rapper dan penyanyi berdarah Afrika, yang berdandan sangat meriah dalam tumpukan merek dan aksesori. Mantel bulu, kalung-kalung dan aksesori emas serba besar, serta motif meriah.
Alasan budaya ini mungkin bisa membenarkan kecenderungan desainer pada rancangan yang maksimalis, yaitu untuk mengikuti tuntutan pasar. Tapi bukankah ada kecanggihan teknologi komunikasi yang memudahkan informasi fashion dunia mencapai konsumen di Indonesia? Ternyata tak smua konsumen fashion di sini masih berkutat dengan akar budaya.
"Saat pernikahan, tentunya saya ingin juga tampil glamour, karena itu saya memilih busana yang meriah," ungkap Vicky Supit, seorang konsumen fashion. Namun untuk sehari-hari, ia mengakui bahwa pilihannya justru jatuh pada produk-produk impor. Masalahnya bukan karena brand-minded pada merek-merek luar, tapi Vicky belum menemukan busana casual yang nyaman dipakai dari desainer Indonesia. Ia mengaku tak mempersoalkan merek ataupun harga, tapi untuk busana sehari-hari, yang penting adalah kenyamanan.
Ketika porsi pasar yang hanya menghargai kemewahan semakin kecil, porsi yang lebih sadar fashion pun semakin besar. Indonesia, Jepang, Hong Kong, termasuk negara-negara Asia dengan selera berbusana yang cukup baik, dalam arti mampu mengikuti mode dalam waktu
cepat. Kesederhanaan gaya busana telah semakin diterima sebagai sesuatu yang elegan, chic, atau klasik, tidak lagi menjadi tanda 'kemiskinan'.
Agar mudah memperoleh gambaran bahwa minimalis juga mengandung kemewahan, perhatikan model busana pengantin para selebriti Hollywood. Ingat gaun pengantin Jennifer Aniston, Jennifer Lopez, sampai Catherine Zeta-Jones. Kesan pure, cantik dan mahal tetap terpancar.. Kultur ini datang dari Amerika, khususnya gaya yang diusung oleh New York Fashion Week. Lalu bandingkan gaya wedding gown yang dipakai oleh konsumen Jakarta (perbandingan ini hanya berlaku untuk international look yang bebentuk gaun putih panjang dan tutup kepala).
Maka sulit menemukan karya desainer Indonesia dengan ciri minimalis yang kental. Para penyuka kesederhanaan pun akhirnya harus berpaling pada merek-merek impor yang jumlahnya juga semakin banyak di Indonesia.
Harapan akan munculnya desainer-desainer baru yang mengusung kesederhanaan memang semakin bersinar. Bukan kreativitas saja yang bisa mendukung, tapi juga ketelitian bekerja serta teknologi. Rupanya kesederhanaan bukanlah hal yang mudah. Saat membuat suatu karya yang minimalis, tak banyak ruang gerak untuk membuat suatu kesalahan. Garis yang begitu
sederhana harus didukung dengan bahan bermutu tinggi, kualitas jahitan nomor satu, serta cutting yang sempurna. Bia tidak, maka kesederhanaannya menjadi tak berarti lagi.
Padahal jika melihat patokan harga, busana minimalis bukan berarti lebih murah daripada busana yang lebih ramai. Justru, desain minimalis biasanya dibuat dari bahan kain terpilih dengan presisi eknik potong sangat rapi. Karena kain bermutu ini harus menunjang siluet atau pola busananya. Sangat masuk akal jika harganya menjadi tinggi.
Arulita Adityaswara, Merchandise Director PT Pasaraya Nusakarya, menceritakan pengalamannya berkunjung ke sebuah garment manufacturer yang cukup besar. "Untuk
mengerjakan produk yang cukup sederhana saja -a simple white shirt-, mereka menggunakan alat pemotong yang sangat canggih, luar biasa tajam sehingga operatornya harus menggunakan sarung tangan baja." Ia melanjutkan, "Untuk fashion di Indonesia, keterkaitan dengan teknologi semacam itu masih dalam porsi yang sangat kecil."
Bukan tiada garment manufacturer di Indonesia yang memiliki teknologi secanggih itu, tapi kerjasama dengan desainer tetap saja sulit. Kebanyakan desainer Indonesia menjalankan usahanya secara pribadi, mempekerjakan sejumlah penjahit atau pengrajin sendiri, dengan jumlah produksi berskala kecil. Untuk menyerahkan pada garment manufacturer, jumlah minimum produksi yang ditetapkan terlalu tinggi untuk dipenuhi. Soal dana menjadi kendala.
Akhirnya, memang lebih mudah membuat sesuatu yang maksimalis ketimbang minimalis. Bukan berarti bahwa garis maksimalis memberi lebih banyak ruang untuk kesalahan, hanya saja kaitannya dengan teknologi sangat bisa diminimalkan Perbedaan paling besar antara dua kutub ini -maksimalis dan minimalis- terletak pada proses pengerjaannya. Semakin banyak pekerjaan tangan dilibatkan, semakin rumit pemasangan beading-nya, maka semakin berharga sebuah gaun mewah yang penuh detail. Teknologi tinggi tak terlalu diperlukan, karena pekerjaan tangan yang lebih dilibatkan. Keterbatasan teknologi di satu sisi, sumber daya manusia yang berlimpah di sisi lain, membuat desainer Indonesia lebih mudah membuat karya 'wah' daripada sederhana.
Kita patut mensyukuri kemampuan membeli dan kesadaran fashion konsumen Indonesia yang cukup tinggi. Kini mereka tak segan tampil dalam balutan busana desainer lokal untuk tampil dalam kesempatan-kesempatan khusus. Pilihan yang ditawarkan juga beragam. Maksimalis sudah punya posisi kuat di sini, pasarnya ada, pengisinya banyak. Tapi di pihak lain, pilihan busana bergaris sesederhana masih banyak diisi oleh produk luar. Padahal busana-busana seperti ini daya pakaianya lebih tinggi, dan peminatnya semakin besar. Pasar ini masih
menanti hasil karya desainer Indonesia.
Akhirnya, masalahnya bukanlah maksimalis atau minimalis, keduanya adalah kutub yang berlawanan, jauh berbeda, tapi tetap harus ada demi keseimbangan. Toh dunia fashion sendiri selalu berputar, kadang kecenderungannya meriah, kadang sederhana. Jalan masih panjang dengan mata rantai yang sangat rumit. Sebuah produk yang sederhana misalnya, tetap harus didukung oleh tim yang tangguh. Sayang sekali bahwa di Indonesia, kutub yang satu terisi penuh, dan kutub yang lainya begitu sepi.
Anda baru saja membeli sebuah busana rancangan desainer Indonesia denga harga yang cukup mahal. Kira-kira seperti apa bentuknya? Kemungkinan besar busana Anda mengandung unsur payet dan gemerlap. Kemungkinan besar juga busana itu Anda beli untuk dipakai ke acara tertentu dan bukan untuk kegiatan sehari-hari. Kemungkinan besar demikian. Kalau salah, mohon dimaafkan.
Kenyataannya, kalau kita mendengar kata-kata 'rancangan desainer Indonesia', yang pertama terbayang adalah busana mewah dengan segala pernak-pernik dan detil cukup meriah. Jarang sekali kita menemukan rancangan desainer Indonesia yang bebas trimming dan detil, dan hanya mengandalkan kesempurnaan cutting dan kualitas material belaka. Terbersit pertanyaan, jangan-jangan kalau tidak dihiasi berbagai pernak-pernik, suatu busana tidak dianggap layak
mendapat predikat 'rancangan desainer' di Indonesia?
Mungkinkah masyarakat fashion Indonesia memang masih sementah itu? Jumlah nominal yang sudah dikeluarkan hanya dianggap impas bila hasilnya jelas-jelas mewah dan gemerlapan. Karena itu, rancangan bergaris minimalis dengan detil sederhana tak mendapatkan pasar di sini. Tapi, sepertinya terlalu dini bila kita mengambil kesimpulan semudah itu.
Mari kita lembali ke akar budaya, seperti kebanyakan negara Asia lainnya, Indonesia sangat kaya dengan ragam busana dan tekstil tradisional yang semuanya penuh motif dan warna. Detail yang rumit, payet dan manik, serta pekerjaan tangan yang teliti merupakan ciri yang tak asing. Dulu, status sosial seseorang bisa dilihat jelas dari 'kekayaan' yang dikenakannya.
Walau kini soal status tak bisa dinilai semudah itu, tapi kebiasaan tampil 'kaya' rupanya masih terbawa sampai sekarang, walau tak lagi berciri tradisional.
Soal status ini dibenarkan juga oleh Erick Roland, buyer Versace untuk Indonesia. Butik yang dikenal dengan garis maksimalis kental ini memiliki sejumlah pelanggan yang bisa dikatakan fanatik. "Customer kami senang berpenampilan meriah, mereka tidak memilih ke butik A (menyebut suatu nama) karena garisnya dianggap terlalu sederhana. Mereka memang senang kelihatan bermerek," ungkapnya.
Lalu sebagian besar expatriat yang berbelanja di butik Versace Indonesia umumnya berasal dari Afrika. Tapi konsumen tetapnya kebanyakan masih orang Inonesia sendiri, yang tak segan berdandan head-to-toe dalam motif Versace. Ada miripnya dengan kaitan fashion Indonesia dengan akar budayanya. Benua Afrika juga dikenal dengan kemeriahan warna dan detil, jadi
nampaknya kecenderungan tampil 'meriah' terbawa hingga sekarang. Lihat saja penampilan rapper dan penyanyi berdarah Afrika, yang berdandan sangat meriah dalam tumpukan merek dan aksesori. Mantel bulu, kalung-kalung dan aksesori emas serba besar, serta motif meriah.
Alasan budaya ini mungkin bisa membenarkan kecenderungan desainer pada rancangan yang maksimalis, yaitu untuk mengikuti tuntutan pasar. Tapi bukankah ada kecanggihan teknologi komunikasi yang memudahkan informasi fashion dunia mencapai konsumen di Indonesia? Ternyata tak smua konsumen fashion di sini masih berkutat dengan akar budaya.
"Saat pernikahan, tentunya saya ingin juga tampil glamour, karena itu saya memilih busana yang meriah," ungkap Vicky Supit, seorang konsumen fashion. Namun untuk sehari-hari, ia mengakui bahwa pilihannya justru jatuh pada produk-produk impor. Masalahnya bukan karena brand-minded pada merek-merek luar, tapi Vicky belum menemukan busana casual yang nyaman dipakai dari desainer Indonesia. Ia mengaku tak mempersoalkan merek ataupun harga, tapi untuk busana sehari-hari, yang penting adalah kenyamanan.
Ketika porsi pasar yang hanya menghargai kemewahan semakin kecil, porsi yang lebih sadar fashion pun semakin besar. Indonesia, Jepang, Hong Kong, termasuk negara-negara Asia dengan selera berbusana yang cukup baik, dalam arti mampu mengikuti mode dalam waktu
cepat. Kesederhanaan gaya busana telah semakin diterima sebagai sesuatu yang elegan, chic, atau klasik, tidak lagi menjadi tanda 'kemiskinan'.
Agar mudah memperoleh gambaran bahwa minimalis juga mengandung kemewahan, perhatikan model busana pengantin para selebriti Hollywood. Ingat gaun pengantin Jennifer Aniston, Jennifer Lopez, sampai Catherine Zeta-Jones. Kesan pure, cantik dan mahal tetap terpancar.. Kultur ini datang dari Amerika, khususnya gaya yang diusung oleh New York Fashion Week. Lalu bandingkan gaya wedding gown yang dipakai oleh konsumen Jakarta (perbandingan ini hanya berlaku untuk international look yang bebentuk gaun putih panjang dan tutup kepala).
Maka sulit menemukan karya desainer Indonesia dengan ciri minimalis yang kental. Para penyuka kesederhanaan pun akhirnya harus berpaling pada merek-merek impor yang jumlahnya juga semakin banyak di Indonesia.
Harapan akan munculnya desainer-desainer baru yang mengusung kesederhanaan memang semakin bersinar. Bukan kreativitas saja yang bisa mendukung, tapi juga ketelitian bekerja serta teknologi. Rupanya kesederhanaan bukanlah hal yang mudah. Saat membuat suatu karya yang minimalis, tak banyak ruang gerak untuk membuat suatu kesalahan. Garis yang begitu
sederhana harus didukung dengan bahan bermutu tinggi, kualitas jahitan nomor satu, serta cutting yang sempurna. Bia tidak, maka kesederhanaannya menjadi tak berarti lagi.
Padahal jika melihat patokan harga, busana minimalis bukan berarti lebih murah daripada busana yang lebih ramai. Justru, desain minimalis biasanya dibuat dari bahan kain terpilih dengan presisi eknik potong sangat rapi. Karena kain bermutu ini harus menunjang siluet atau pola busananya. Sangat masuk akal jika harganya menjadi tinggi.
Arulita Adityaswara, Merchandise Director PT Pasaraya Nusakarya, menceritakan pengalamannya berkunjung ke sebuah garment manufacturer yang cukup besar. "Untuk
mengerjakan produk yang cukup sederhana saja -a simple white shirt-, mereka menggunakan alat pemotong yang sangat canggih, luar biasa tajam sehingga operatornya harus menggunakan sarung tangan baja." Ia melanjutkan, "Untuk fashion di Indonesia, keterkaitan dengan teknologi semacam itu masih dalam porsi yang sangat kecil."
Bukan tiada garment manufacturer di Indonesia yang memiliki teknologi secanggih itu, tapi kerjasama dengan desainer tetap saja sulit. Kebanyakan desainer Indonesia menjalankan usahanya secara pribadi, mempekerjakan sejumlah penjahit atau pengrajin sendiri, dengan jumlah produksi berskala kecil. Untuk menyerahkan pada garment manufacturer, jumlah minimum produksi yang ditetapkan terlalu tinggi untuk dipenuhi. Soal dana menjadi kendala.
Akhirnya, memang lebih mudah membuat sesuatu yang maksimalis ketimbang minimalis. Bukan berarti bahwa garis maksimalis memberi lebih banyak ruang untuk kesalahan, hanya saja kaitannya dengan teknologi sangat bisa diminimalkan Perbedaan paling besar antara dua kutub ini -maksimalis dan minimalis- terletak pada proses pengerjaannya. Semakin banyak pekerjaan tangan dilibatkan, semakin rumit pemasangan beading-nya, maka semakin berharga sebuah gaun mewah yang penuh detail. Teknologi tinggi tak terlalu diperlukan, karena pekerjaan tangan yang lebih dilibatkan. Keterbatasan teknologi di satu sisi, sumber daya manusia yang berlimpah di sisi lain, membuat desainer Indonesia lebih mudah membuat karya 'wah' daripada sederhana.
Kita patut mensyukuri kemampuan membeli dan kesadaran fashion konsumen Indonesia yang cukup tinggi. Kini mereka tak segan tampil dalam balutan busana desainer lokal untuk tampil dalam kesempatan-kesempatan khusus. Pilihan yang ditawarkan juga beragam. Maksimalis sudah punya posisi kuat di sini, pasarnya ada, pengisinya banyak. Tapi di pihak lain, pilihan busana bergaris sesederhana masih banyak diisi oleh produk luar. Padahal busana-busana seperti ini daya pakaianya lebih tinggi, dan peminatnya semakin besar. Pasar ini masih
menanti hasil karya desainer Indonesia.
Akhirnya, masalahnya bukanlah maksimalis atau minimalis, keduanya adalah kutub yang berlawanan, jauh berbeda, tapi tetap harus ada demi keseimbangan. Toh dunia fashion sendiri selalu berputar, kadang kecenderungannya meriah, kadang sederhana. Jalan masih panjang dengan mata rantai yang sangat rumit. Sebuah produk yang sederhana misalnya, tetap harus didukung oleh tim yang tangguh. Sayang sekali bahwa di Indonesia, kutub yang satu terisi penuh, dan kutub yang lainya begitu sepi.
Subscribe to:
Posts (Atom)