Benarkah kecenderungan fashion di Indonesia hanya identik dengan mewah dan gemerlapan? Lalu bagamana dengan kesedehanaan dan kepraktisan? Ini tuntutan pasar atau keterbatasan kemampuan?
Anda baru saja membeli sebuah busana rancangan desainer Indonesia denga harga yang cukup mahal. Kira-kira seperti apa bentuknya? Kemungkinan besar busana Anda mengandung unsur payet dan gemerlap. Kemungkinan besar juga busana itu Anda beli untuk dipakai ke acara tertentu dan bukan untuk kegiatan sehari-hari. Kemungkinan besar demikian. Kalau salah, mohon dimaafkan.
Kenyataannya, kalau kita mendengar kata-kata 'rancangan desainer Indonesia', yang pertama terbayang adalah busana mewah dengan segala pernak-pernik dan detil cukup meriah. Jarang sekali kita menemukan rancangan desainer Indonesia yang bebas trimming dan detil, dan hanya mengandalkan kesempurnaan cutting dan kualitas material belaka. Terbersit pertanyaan, jangan-jangan kalau tidak dihiasi berbagai pernak-pernik, suatu busana tidak dianggap layak
mendapat predikat 'rancangan desainer' di Indonesia?
Mungkinkah masyarakat fashion Indonesia memang masih sementah itu? Jumlah nominal yang sudah dikeluarkan hanya dianggap impas bila hasilnya jelas-jelas mewah dan gemerlapan. Karena itu, rancangan bergaris minimalis dengan detil sederhana tak mendapatkan pasar di sini. Tapi, sepertinya terlalu dini bila kita mengambil kesimpulan semudah itu.
Mari kita lembali ke akar budaya, seperti kebanyakan negara Asia lainnya, Indonesia sangat kaya dengan ragam busana dan tekstil tradisional yang semuanya penuh motif dan warna. Detail yang rumit, payet dan manik, serta pekerjaan tangan yang teliti merupakan ciri yang tak asing. Dulu, status sosial seseorang bisa dilihat jelas dari 'kekayaan' yang dikenakannya.
Walau kini soal status tak bisa dinilai semudah itu, tapi kebiasaan tampil 'kaya' rupanya masih terbawa sampai sekarang, walau tak lagi berciri tradisional.
Soal status ini dibenarkan juga oleh Erick Roland, buyer Versace untuk Indonesia. Butik yang dikenal dengan garis maksimalis kental ini memiliki sejumlah pelanggan yang bisa dikatakan fanatik. "Customer kami senang berpenampilan meriah, mereka tidak memilih ke butik A (menyebut suatu nama) karena garisnya dianggap terlalu sederhana. Mereka memang senang kelihatan bermerek," ungkapnya.
Lalu sebagian besar expatriat yang berbelanja di butik Versace Indonesia umumnya berasal dari Afrika. Tapi konsumen tetapnya kebanyakan masih orang Inonesia sendiri, yang tak segan berdandan head-to-toe dalam motif Versace. Ada miripnya dengan kaitan fashion Indonesia dengan akar budayanya. Benua Afrika juga dikenal dengan kemeriahan warna dan detil, jadi
nampaknya kecenderungan tampil 'meriah' terbawa hingga sekarang. Lihat saja penampilan rapper dan penyanyi berdarah Afrika, yang berdandan sangat meriah dalam tumpukan merek dan aksesori. Mantel bulu, kalung-kalung dan aksesori emas serba besar, serta motif meriah.
Alasan budaya ini mungkin bisa membenarkan kecenderungan desainer pada rancangan yang maksimalis, yaitu untuk mengikuti tuntutan pasar. Tapi bukankah ada kecanggihan teknologi komunikasi yang memudahkan informasi fashion dunia mencapai konsumen di Indonesia? Ternyata tak smua konsumen fashion di sini masih berkutat dengan akar budaya.
"Saat pernikahan, tentunya saya ingin juga tampil glamour, karena itu saya memilih busana yang meriah," ungkap Vicky Supit, seorang konsumen fashion. Namun untuk sehari-hari, ia mengakui bahwa pilihannya justru jatuh pada produk-produk impor. Masalahnya bukan karena brand-minded pada merek-merek luar, tapi Vicky belum menemukan busana casual yang nyaman dipakai dari desainer Indonesia. Ia mengaku tak mempersoalkan merek ataupun harga, tapi untuk busana sehari-hari, yang penting adalah kenyamanan.
Ketika porsi pasar yang hanya menghargai kemewahan semakin kecil, porsi yang lebih sadar fashion pun semakin besar. Indonesia, Jepang, Hong Kong, termasuk negara-negara Asia dengan selera berbusana yang cukup baik, dalam arti mampu mengikuti mode dalam waktu
cepat. Kesederhanaan gaya busana telah semakin diterima sebagai sesuatu yang elegan, chic, atau klasik, tidak lagi menjadi tanda 'kemiskinan'.
Agar mudah memperoleh gambaran bahwa minimalis juga mengandung kemewahan, perhatikan model busana pengantin para selebriti Hollywood. Ingat gaun pengantin Jennifer Aniston, Jennifer Lopez, sampai Catherine Zeta-Jones. Kesan pure, cantik dan mahal tetap terpancar.. Kultur ini datang dari Amerika, khususnya gaya yang diusung oleh New York Fashion Week. Lalu bandingkan gaya wedding gown yang dipakai oleh konsumen Jakarta (perbandingan ini hanya berlaku untuk international look yang bebentuk gaun putih panjang dan tutup kepala).
Maka sulit menemukan karya desainer Indonesia dengan ciri minimalis yang kental. Para penyuka kesederhanaan pun akhirnya harus berpaling pada merek-merek impor yang jumlahnya juga semakin banyak di Indonesia.
Harapan akan munculnya desainer-desainer baru yang mengusung kesederhanaan memang semakin bersinar. Bukan kreativitas saja yang bisa mendukung, tapi juga ketelitian bekerja serta teknologi. Rupanya kesederhanaan bukanlah hal yang mudah. Saat membuat suatu karya yang minimalis, tak banyak ruang gerak untuk membuat suatu kesalahan. Garis yang begitu
sederhana harus didukung dengan bahan bermutu tinggi, kualitas jahitan nomor satu, serta cutting yang sempurna. Bia tidak, maka kesederhanaannya menjadi tak berarti lagi.
Padahal jika melihat patokan harga, busana minimalis bukan berarti lebih murah daripada busana yang lebih ramai. Justru, desain minimalis biasanya dibuat dari bahan kain terpilih dengan presisi eknik potong sangat rapi. Karena kain bermutu ini harus menunjang siluet atau pola busananya. Sangat masuk akal jika harganya menjadi tinggi.
Arulita Adityaswara, Merchandise Director PT Pasaraya Nusakarya, menceritakan pengalamannya berkunjung ke sebuah garment manufacturer yang cukup besar. "Untuk
mengerjakan produk yang cukup sederhana saja -a simple white shirt-, mereka menggunakan alat pemotong yang sangat canggih, luar biasa tajam sehingga operatornya harus menggunakan sarung tangan baja." Ia melanjutkan, "Untuk fashion di Indonesia, keterkaitan dengan teknologi semacam itu masih dalam porsi yang sangat kecil."
Bukan tiada garment manufacturer di Indonesia yang memiliki teknologi secanggih itu, tapi kerjasama dengan desainer tetap saja sulit. Kebanyakan desainer Indonesia menjalankan usahanya secara pribadi, mempekerjakan sejumlah penjahit atau pengrajin sendiri, dengan jumlah produksi berskala kecil. Untuk menyerahkan pada garment manufacturer, jumlah minimum produksi yang ditetapkan terlalu tinggi untuk dipenuhi. Soal dana menjadi kendala.
Akhirnya, memang lebih mudah membuat sesuatu yang maksimalis ketimbang minimalis. Bukan berarti bahwa garis maksimalis memberi lebih banyak ruang untuk kesalahan, hanya saja kaitannya dengan teknologi sangat bisa diminimalkan Perbedaan paling besar antara dua kutub ini -maksimalis dan minimalis- terletak pada proses pengerjaannya. Semakin banyak pekerjaan tangan dilibatkan, semakin rumit pemasangan beading-nya, maka semakin berharga sebuah gaun mewah yang penuh detail. Teknologi tinggi tak terlalu diperlukan, karena pekerjaan tangan yang lebih dilibatkan. Keterbatasan teknologi di satu sisi, sumber daya manusia yang berlimpah di sisi lain, membuat desainer Indonesia lebih mudah membuat karya 'wah' daripada sederhana.
Kita patut mensyukuri kemampuan membeli dan kesadaran fashion konsumen Indonesia yang cukup tinggi. Kini mereka tak segan tampil dalam balutan busana desainer lokal untuk tampil dalam kesempatan-kesempatan khusus. Pilihan yang ditawarkan juga beragam. Maksimalis sudah punya posisi kuat di sini, pasarnya ada, pengisinya banyak. Tapi di pihak lain, pilihan busana bergaris sesederhana masih banyak diisi oleh produk luar. Padahal busana-busana seperti ini daya pakaianya lebih tinggi, dan peminatnya semakin besar. Pasar ini masih
menanti hasil karya desainer Indonesia.
Akhirnya, masalahnya bukanlah maksimalis atau minimalis, keduanya adalah kutub yang berlawanan, jauh berbeda, tapi tetap harus ada demi keseimbangan. Toh dunia fashion sendiri selalu berputar, kadang kecenderungannya meriah, kadang sederhana. Jalan masih panjang dengan mata rantai yang sangat rumit. Sebuah produk yang sederhana misalnya, tetap harus didukung oleh tim yang tangguh. Sayang sekali bahwa di Indonesia, kutub yang satu terisi penuh, dan kutub yang lainya begitu sepi.