Walau bergelut di bidang yang sama, mereka berasal dari latar belakang dan budaya yang sama sekali berbeda. Mengapa akhirnya memilih tinggal di Bali?
Tak ada tempat yang memiliki begitu banyak sisi seperti Bali. Mereka yang hanya ingin bersantai dan menjauh dari kesibukan sehari-hari, lari sejenak ke Bali untuk menghilangkan kepenatan. Tapi Bali tak sekedar pulau liburan, tempat ini juga mampu menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang bergerak di bidang seni, seperti para desainer perhiasan ini. Rupanya ada sesuatu yang menarik di Bali. Mungkin budaya setempatnya yang memang menempatkan seni sebagai bagian hidup sehari-hari. Mungkin alamnya yang masih begitu menawan. Atau mungkin, Bali memang memiliki suatu daya tarik misterius. Paling tidak, begitulah beberapa alasan yang dikemukakan para desainer perhiasan ini.
Diana Dunk: Kembali Pada Tradisi
Pada awalnya, wanita asal Bandung berencana tinggal di Bali selama setahun untuk bekerja di bidang interior, sesuai dengan jurusan tekstil interior yang telah didalaminya di Institut Kesenian Jakarta. Lalu tiba-tiba, tak terasa hampir duapuluh tahun sudah berlalu.
Saat itu, ia tak langsung bergerak di bidang desain perhiasan. Bali yang begitu kaya memuaskan
keinginannya untuk mempelajari berbagai hal yang berhubungan dengan desain. Ia belajar banyak tentang berbagai bahan seperti kayu, kain, bambu, dan akhirnya emas, perak, serta bermacam batuan. Sekitar lima tahun yang lalu, ia memutuskan untuk melepaskan berbagai
pekerjaan desainnya dan menjadi ibu rumah tangga penuh. Ketak-betahannya untuk menganggur membuatnya mulai menggambar beberapa sketsa perhiasan, yang kemudian diwujudkan oleh suaminya. Akhirnya, dengan bantuan sejumlah perajin, ia memutuskan untuk lebih menekuni bidang perhiasan ini.
"Yang saya suka dari Bali adalah cratmenship-nya. Mereka (para perajin itu) sangat berbakat, mampu membuat apa saja. Buat mereka, berkarya merupakan suatu dharma, bagian hidup sehari-hari, sama seperti kita makan nasi atau bekerja," ujarnya.
Dalam berkarya, Diana memilih untuk berkutat dengan emas 22 karat. Ia juga banyak menggali ke dalam budaya Indonesia sebagai bahan inspirasi. Saat ia menikah, ibunya yang berdarah jawa memberikan seperangkat perhiasan emas kepada Diana. Saat itu, terpikir olehnya bahwa sudah begitu banyak perhiasan tradisional Indonesia yang sudah tak bisa ditemui lagi karena telah dibeli oleh para kolektor di luar negri. Di sinilah awal idealismenya untuk mengembalikan apa yang sudah lama ada dalam budaya Indonesia, untuk dikombinasikan dengan desain yang memungkinkan pemakaian sehari-hari.
Ia mencontohkan salah satu desainnya yang mengambil inspirasi bentuk giwang kuno dari Kalimantan. Diana memodifikasinya sehingga bentuk tersebut bisa dikenakan sebagai kalung atau cincin karena bentuk aslinya terlalu besar sebagai giwang.
Inspirasi ini memang terpancar pada berbagai desainnya yang memiliki bentuk-bentuk tradisional seperti spiral serta tekstur dan permukaan yang tak halus. Beberapa pelanggannya justru mengomentari desain Diana seperti perhiasan Eropa lama. Hal ini tak disangkal olehnya.
"Mungkin saja itu benar, budaya kita memang terpengaruh Spanyol, Portugis, dan Belanda di masa lalu."
Sebelum dua tahun terakhir, Diana hanya memasarkan karyanya di Amerika. Hal itu diawali dengan mengikuti pameran perhiasan di negara bagian Arizona, Amerika, yang berlangsung setahun sekali pada bulan Januari. Pemasarannya di Indonesia diawali dengan tawaran dari
Palanquin Bali, sebuah butik di Kuta, untuk menjual hasil karyanya. Tak sekedar menjual, Palanquin juga mempromosikan para desainer yang menjadi mitra kerjasama melalui berbagai bentuk promosi, salah satunya adalah dengan trunk show atau pameran. Walau tanpa ikatan kontrak khusus, promosi melalui Palanquin ternyata cukup efektif, banyak pelanggan baru yang datang. Kini, selain di Palanquin, Diana juga memasarkan karyanya di Amanjiwo, Jogjakarta.
Saat ini Diana tinggal di Pejeng, sebuah desa kecil yang sunyi di luar Ubud, bersama keluarganya. Rumah itu ditinggalinya sejak lima tahun yang lalu, setelah ia meningalkan Ubud yang sudah mulai ramai. Ia memilih tinggal di tempat-tempat yang sepi karena ingin
mendekatkan diri dengan kehidupan masyarakatnya. Lagipula Bali bukanlah tempat yang terlalu besar, hanya dengan setengah jam perjalanan, ia bisa pergi ke gunung atau pantai.
Sebuah konsep yang ia pelajari dari para perajinnya adalah tak adanya keterikatan pada karya yang dihasilkan. "Setelah selesai mengerjakan, mereka lepas dari karya itu. Tak ada keterikatan, karena mereka tahu akan ada hal baru yang lain lagi," jelasnya. Diana pun mempraktekkan konsep yang sama pada karya-karyanya. "Perhiasan saya yang sudah selesai,
lepas dari diri saya, karena kini ia telah memiliki tanggung jawabnya sendiri."
Dalia Brooks: Perak Kelas Tinggi
Bidang perhiasan bukanlah hal baru untuk wanita kelahiran Israel keturunan Yugoslavia ini. Ayahnya, Rafael Alfandary, adalah seorang desainer perhiasan yang sangat terkenal di Toronto, Kanada. Tak heran bila Dalia telah mulai membuat perhiasan pada usia tujuh tahun dan menjual karya pertamanya pada usia 12 tahun. Pada usia 19 tahun, ia telah membuka butik perhiasan sendiri, yang berkembang menjadi tiga buah saat usianya mencapai 21 tahun.
Ketika datang ke Bali 12 tahun yang lalu, keinginannya hanyalah untuk berlibur, bagian dari perjalanannya berkeliling dunia. Tapi di pulau itu, ia terpesona pada kemampuan para perajin setempat untuk menghasilkan berbagai karya perhiasan tradisional dengan biaya yang sangat murah. Segeralah timbul idenya untuk mengkombinasikan hal itu dengan desain dan teknik yang lebih modern.
Keinginannya itu diwujudkan dua tahun kemudian ketika ia kembali ke Bali dan mendirikan perusahaan perhiasan atas namanya sendiri. Paduan antara kreatifitas, pengalaman di bidang materi dan teknik, serta biaya produksi yang rendah, membuat hasil karyanya meraih sukses besar sewaktu dipasarkan di Amerika.
Walau berdomisili di Bali, ternyata workshop Dalia berada di pulau Jawa. Bali menjadi tempat tinggalnya, sekaligus tempat mengatur kegiatan bisnis. "Di sini saya bisa bekerja dengan cara yang sama sekali berbeda dengan waktu masih di Amerika. Hubungan saya dengan para perajin sangatlah dekat. Saya mencoba membantu mereka membuat perhiasan dengan cara yang lebih
modern," ungkapnya.
Kemodernan ini semakin dimungkinkan sejak ia menggunakan CAD (Computer Aided Design) untuk membantunya berkarya. Dalam hal ini, suaminya sangat membantu dalam menginterpretasikan desain Dalia dengan komputer. Hasil komputer ini kemudian dikirimkan ke workshop, dan hasil akhirnya sangatlah tepat. Dengan bantuan komputer, beberapa langkah bisa dilewatkan, sehingga pembuatan perhiasan menjadi lebih cepat dan presisi.
Karya-karya Dalia menggunakan perak lokal, yang dipadukan berbagai batuan berharga atau semi-berharga impor. Ia menyukai garis-garis yang bersih pada desainnya, misalnya dengan menggunakan kandungan perak lebih tinggi agar hasilnya lebih bersih dan lebih putih. Dalia mengakui bahwa sebenarnya ia dididik untuk menjadi perajin emas, tapi saat datang ke Bali, ia memutuskan untuk berpaling ke perak. Semua ini didasarkan pada pemikiran bahwa harga perak lebih terjangkau daripada emas, sedangkan ia juga ingin melakukan pemasaran secara lebih luas.
Bukan berarti perhiasan Dalia adalah kelas dua. "Memang sudah anggapan umum bahwa perak berada di kelas yang lebih rendah daripada emas. Jadi kami mencoba membuat perhiasan perak yang berkualitas tinggi, tak kalah berkelas tapi dengan harga yang lebih terjangkau," jelas suami Dalia.
Sebelumnya karya-karya Dalia dipasarkan di Amerika secara masal melalui berbagai toko dan katalog dengan nama lain. Kini, ia mulai meluncurkan koleksi atas namanya sendiri dengan kualitas yang lebih tinggi dan desain yang lebih khusus. Dan setelah bersusah-payah memikirkan nama yang tepat, Dalia dan suaminya memutuskan bahwa nama Dalia-lah yang paling tepat.
Saat ini, Dalia dan suaminya tinggal di daerah Seminyak, Bali. Di Bali jugalah ia bertemu suaminya, seorang fotografer, membentuk keluarga, dan bahkan kini, ibunya pun telah memutuskan untuk berpindah ke Bali. Saat ditanya apakah ia sering pulang ke Amerika? Dalia menjawab, "Tidak, rumah kami di sini sekarang."
Tricia Kim: Spiritual dan Keindahan Alam Bali
Tricia Kim lahir dan tinggal di Seoul, Korea, hingga berusia 6 tahun. Kemudian keluarganya memutuskan untuk pindah ke New York, Amerika. Bisa dikatakan New York adalah kampung halamannya kini. Ketertarikannya pada seni bermula sejak awal, karena itu ia mengikuti
pendidikan di berbagai sekolah seni di New York dan Paris.
Awalnya, Tricia berkutat pada pembuatan patung multi media serta pembuatan produk furnitur. Tapi bidang perhiasan mulai menarik hatinya sekitar 12 tahun yang lalu saat ia mengadakan perjalanan keliling Eropa, Amerika Tengah, Asia Tenggara, serta India dan Srilanka. Hingga saat ini, sudah 29 negara yang dikunjunginya.
Saat berkunjung ke Bali lima tahun yang lalu, Tricia akhirnya memutuskan untuk tinggal dan memusatkan bisnis desain perhiasannya di tempat tinggalnya di Ubud. "Menurut saya, semua orang menyukai Bali karena pulau ini seperti surga. Semuanya begitu indah, orang-orangnya, pemandangannya. Saat berada di studio, saya memandang ke luar dan melihat pohon-pohon kelapa serta kupu-kupu beterbangan. Rasanya begitu sejuk bagi jiwa saya," ia menjelaskan kecintaannya pada Bali.
Dan tentunya dari segi bisnis, "... saya dapat menghasilkan cukup banyak di sini dalam bidang desain perhiasan karena ada begitu banyak perajin berbakat yang sangat mudah diajak bekerjasama."
Tricia menggunakan berbagai material untuk perhiasannya, dari perak, emas 22 karat, berbagai batuan berharga dan semi-berharga, hingga karet dan tali sutera. Saat diminta mendefinisikan kecenderungan desainnya, Tricia menjawab, "saya banyak menggunakan teknik tradisional, tapi hasil akhirnya saya buat sendiri. Jadi... anggap saja kecenderungan desain saya adalah 'traditionally cutting-edge'." Setelah itu ia tertawa karena istilah itu ternyata hanya karangannya sendiri.
Ia memang tak terlalu memusingkan ke arah mana kecenderungan desainnya, karena kebebasan berkreasi lebih utama buatnya. Begitu juga caranya menggali inspirasi. Ia tak memiliki cara khusus untuk menemukan ide, kadang inspirasi datang begitu saja dan ia bisa langsung membuat sketsa. Kadang ia merenung dan menggali ke dalam diri sendiri untuk mencari inspirasi.
Ketika melakukan perjalanan ke negara-negara Asia Tenggara, Tricia mendapatkan banyak inspirasi spiritual dari berbagai kuil Hindhu dan Buddha yang dikunjunginya. Dipadukan dengan keindahan alam Bali, kedua pengaruh itu banyak ditemui pada berbagai hasil karyanya.
Tricia memiliki berbagai sumber yang memasok berbagai kebutuhan bahannya. Misalnya, batu-batuan didapatkannya dari India, Bangkok, New York, Afrika, dan berbagai tempat lainnya. Sedangkan bahan perak diperolehnya secara lokal. Ia bekerjasama dengan para perajin yang bekerja penuh di workshop-nya serta beberapa perajin lepas yang juga bekerja untuk desainer lainnya.
Dengan begitu banyaknya desainer perhiasan yang berada di Bali, ia mengaku tak takut pada persaingan. "Saya tahu di sini banyak sekali desainer perhiasan, tapi hampir semuanya memasarkan produknya untuk ekspor ke berbagai bagian dunia. Persaingannya memang cukup ketat, tapi saya yakin tempatnya juga masih cukup luas."
Tricia sendiri memasarkan karyanya dengan nama Nagicia ke Amerika, terutama New York, serta ke Swiss. Ia juga sedang menjajaki pasar di Hong Kong, Singapura, Tokyo, dan Jakarta. Nama Nagicia merupakan gabungan antara nama panggilannya, Naga, karena ia lahir di tahun naga, dengan nama aslinya, Tricia.
Beberapa kali dalam setahun, Tricia kembali ke New York untuk melakukan berbagai hal yang tak bisa dilakukannya di Bali. Ia mengunjungi museum dan pertunjukan, serta bertemu keluarga serta kawan-kawan. Sesudah itu, ia pun kembali ke studionya yang sepi di luar desa Ubud. "It's a healing place."
B. Filippos
Sebenarnya pria kelahiran Yunani ini lebih dikenal sebagai pematung dengan media terutama marmer. Lahirnya pun di daerah penambangan marmer di Yunani Tengah. Ia mempelajari budaya Yunani kuno, serta melakukan berbagai eksperimen dengan berbagai media, dari kayu hingga marmer.
Saat berusia 27 tahun, Filippos mulai melakukan perjalanan ke Inggris, Spanyol, dan Bali. Seperti juga rekan-rekannya yang lain, ia pun akhirnya memutuskan untuk tinggal di Bali hingga saat ini telah lebih dari 10 tahun. "Saya jatuh cinta pada tempat ini. Saya merasa seperti di rumah, karena itu saya memutuskan untuk tinggal di sini."
Filippos memilih untuk tinggal di Ubud karena komunitasnya yang artistik, dengan begitu banyak seniman pelukis maupun pematung yang tinggal di sana. Ia membandingkan Ubud dengan Legian, yang untuk Filippos, terasa lebih berorientasi bisnis.
Di sela-sela kesibukannya sebagai pematung, Filippos masih sempat melakukan hobinya, yaitu melakukan perjalanan ke berbagai tempat yang eksotis. Ia telah mengunjungi Mesir, Mongolia, Kamboja, Meksiko, India, Cina, Srilanka dan berbagai negara lainnya. Di setiap tempat, ia selalu menyempatkan diri berkunjung ke daerah pertambangan untuk membeli berbagai batuan yang menarik hatinya. Untuk Filippos, cara ini terasa lebih misterius dan menarik dibandingkan membeli batuan dalam sebuah acara pameran, misalnya.
Kadang ia mendapatkan inspirasi dari batuan yang didapatnya, dari tekstur, bentuk, atau warnanya. Dari situlah, ia kemudian mengembangkan desain yang sesuai untuk batuan tersebut.
Filippos tak membedakan pekerjaannya sebagai pematung atau desainer perhiasan. Sewaktu mengerjakan keduanya, ia bisa menggunakan materi yang sama, emas dan batuan tak hanya untuk perhiasan, tapi juga untuk patung setinggi satu meter lebih. Walau, tentu saja ia tak menggunakan marmer sebagai bahan perhiasan. Filippos menjelaskan, "Kedua hal itu (patung dan perhiasan) bisa saling membaur, karena untuk saya, perhiasan adalah suatu bentuk patung mungil."
Filippos mendefinisikan kecenderungan karyanya sebagai sedikit tradisional. Ia selalu berusaha membuat karya yang memancarkan sesuatu yang kuno, seolah-olah telah diciptakan ratusan tahun yang lalu. Pengaruh berbagai kepercayaan spiritual serta simbolisme yang diperolehnya selama melakukan perjalanan juga terasa kuat pada patung maupun perhiasannya.
Inspirasi bukanlah hal yang sukar didapat, karena menurut Filippos, inspirasi ada di mana-mana. "Saya bisa menemukan inspirasi pada hidup itu sendiri, pada orang-orang lain, pada batuan, dari dalam diri saya, di mana-mana. Semuanya adalah soal keindahan."
Ia pun tak terlalu memikirkan pemasaran karyanya. Rupanya ia lebih suka bila karyanya tetap menjadi sesuatu yang eksklusif ketimbang komersil. Filippos mengakui bahwa pemasarannya membaik bila ia memfokuskan diri pada hal itu. Tapi ada saat-saat tertentu di mana ia merasa terlalu sayang pada hasil karyanya, dan memilih untuk menyimpannya saja.
Caranya memandang hidup memang begitu bebas lepas dan seperti tanpa beban. Seperti ketika ditanya soal sampai kapan ia berencana tinggal di Bali, Filippos menjawab, "Anda bicara soal masa depan? Well, masa depan saya di sini, sekarang, saat saya sedang bicara dengan Anda. Saya selalu mencoba berada di masa kini." Ia menambahkan, "Bila Anda selalu mencoba menikmati saat sekarang, maka saat sekarang ini bisa hidup selamanya. Dan itulah caranya merasakan hidup."