March 18, 2003

[a+ magazine] Mengenang Barbie

Pada suatu sore, saya terkenang pada sebuah kisah cinta lama, dan bagaimana saya melaluinya.

Mengingat jumpa pertama saya dengan barbie adalah melayangkan ingatan pada masa kecil. Entah sejak kapan persisnya, tiba-tiba sudah ada sepasang barbie berambut pirang dalam peti mainan saya. Saya segera terpesona pada kecantikan wajah dengan pipi merona dan kulit yang nampak begitu halus, rambut pirang sepinggul yang memantulkan cahaya pada setiap gerak, serta tubuh tinggi langsing dengan pinggang begitu ramping. Dalam sekejap saya melupakan Katak, boneka bulu berwarna hijau lusuh yang telah menemani selama bertahun-tahun. Apa boleh buat, barbie memang sebuah citra yang sangat, sangat cantik.

Sesuai dengan wujud mereka yang 'bule', saya memberikan nama Laureen dan Maureen. Layaknya barbie, kedatangan mereka ke kediaman saya tentu saja disertai seperangkat busana dan perlengkapan paling indah yang bisa dibayangkan seorang gadis kecil. Untuk tiap outfit berbeda, mereka memiliki padanan sepatu dan tas yang berbeda pula. Setiap pagi, mereka bersenam dalam busana ketat berwarna merah dan kuning lalu membengkok-bengkokkan lutut serta memutar-mutar tubuh (inilah kelebihan barbie dibandingkan boneka sejenis lainnya). Saat menghadiri acara makan siang, mereka merasa perlu mengenakan setelan denim dengan boots selutut dan tas tangan bernuansa senada atau paduan blouse putih berenda dan rok lipit bermotif bunga-bunga dan sepatu sandal bertali, tergantung di mana tempat makan siangnya.

Pada dasarnya, saya bukanlah orang yang mudah merasa iri. Tapi, siapa yang takan terpancing rasa irinya bila melihat sosok yang begitu cantik, begitu sempurna, dan begitu kaya? Ah, siapakah wanita yang tak ingin menjadi barbie walau sekali saja dalam hidupnya? Tak peduli betapa bodoh dan tak berotaknya citra yang kadang ditampilkan barbie.

Saya bukanlah satu-satunya yang tergila-gila pada kecantikan barbie. Sejak kemunculannya sebagai wanita berkebangsaan Italia pada tahun 1959, impian menjadi barbie mulai merasuk dalam pikiran setiap wanita. Apalagi kemudian barbie muncul dalam berbagai warna kulit, bentuk mata, maupun etnis berbeda. Jadi, bolehlah saya (waktu kecil) bercita-cita menjadi
barbie berkulit cokelat dan bemata belo sambil menikmati koleksi busana dan aksesori yang merupakan hasil cipta berbagai perancang berkelas -dari Bob Mackie, Vera Wang, Christian Dior, sampai Didi Budiardjo.

Tetapi mimpi memang harus tetap mejadi mimpi. Pada akhirnya saya tersadar bahwa semua barbie memiliki bentuk tubuh dan kecantikan yang persis sama, tak peduli etnisnya. Yang ada adalah barbie berpakaian Cina, Jepang, Rusia, sampai Minang, tetapi bukan wanita Cina, Jepang, Rusia, maupun Minang. Barbie hanyalah mimpi yang diciptakan otak jenius seorang
pemilik pabrik boneka, Ruth Handler. Dan karena itu, barbie haruslah tetap menjadi sekedar mimpi belaka, karena bila tiba-tiba menjadi nyata maka impian indah itu justru tak ada lagi. Maka, bodohlah mereka yang terobsesi ingin menjadi seperti barbie, karena sebenarnya hanya barbie yang boleh menjadi barbie. Masa nggak sadar juga, sih?

Jadi jangan salahkan saya yang akhirnya meletakkan Laureen dan Maureen ke dasar terbawah peti mainan beserta segenap perlengkapannya -sebagaimana umumnya kanak-kanak yang bosan pada mainannya. Pada saat saya melakukan hal itu, saya melihat Katak di dasar peti,
begitu lama terlupakan. Saya mengambilnya.