Tentu tak semudah di film-film science fiction, tapi dengan teknologi canggih ini, tubuh langsing sempurna memang bisa diupayakan.
Tubuh sempurna memang jadi idaman setiap orang -terutama wanita-, padahal kategori sempurna itu begitu beragam. Berat badan ideal saja belumlah cukup bila tubuh belum terbentuk baik atau kulit tubuh tak merata karena selulit. Tak sedikit wanita yang sudah mati-matian melakukan diet dan olahraga, tetapi tetap saja penampilan ideal belum tercapai. Sepertinya tubuh sempurna adalah sesuatu yang begitu sulit dicapai.
Sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi kecantikan penampilan. Walau berat tubuh sudah ideal, kesehatan dan keelastisisan jaringan kulit pun perlu diperhatikan. Bila tidak, tubuh pun tak terbentuk indah dengan selulit menggumpal di bawah kulit. Apalagi dengan bertambahnya usia, jaringan kulit semakin tak elastis, hingga tumpukan lemak di bawahnya makin mengeras dan makin sulit dihilangkan. Karena itu diet ketat dan olahraga seringkali tak mampu membentuk tubuh dengan hasil maksimal.
Dengan memfokuskan pada masalah elastisitas kulit, sebuah perusahaan Prancis bernama Louis Paul Guitay atau LPG mengembangkan metode perawatan terbaru. Perawatan yang lebih dikenal dengan nama Endermologie ini menggunakan mesin khusus untuk menghancurkan jaringan lemak yang keras dengan cara melancarkan peredaran darah di daerah tersebut.
Mesin ini menggunakan sistem vacuum dan roller untuk memberikan hisapan dan pijatan pada permukaan kulit. Sensasi yang serupa dengan massage ini berguna untuk melancarkan sistem sirkulasi di bawah kulit, dan terutama mengaktifkan sistem limfatik. Lancarnya sistem limfatik akan memudahkan pembuangan sisa metabolisme lemak yang tidak dibutuhkan tubuh. Hasilnya adalah bentuk tubuh yang lebih ramping, dengan kulit yang lebih halus dan elastis.
Berbeda dengan massage yang lebih mengandalkan keahlian ahli pijat-nya, perawatan endermologie dapat disesuaikan dengan keperluan pemakainya secara akurat, tergantung dari banyaknya lemak, keelastisan kulit, serta daerah mana saja yang bermasalah. Perawatan pun dilakukan dengan menggunakan LPG bodywear yang berbentuk bodysuit, hingga tak ada kontak langsung dengan kulit. Dengan demikian, higienitas selama perawatan pun selalu terjaga.
Tentu saja perawatan apapun harus dilakukan secara teratur demi hasil yang diharapkan. Karena itu, endermologie harus dilakukan sedikitnya tiga kali seminggu, sebanyak minimal 20 kali, masing-masing selama 35 menit, sebelum hasilnya mulai bisa dirasakan. Untuk hasil yang lebih maksimal, perawatan harus dilanjutkan secara teratur sesuai dengan masalah yang dihadapi.
Keuntungan perawatan ini adalah pemakainya tak perlu lagi menghabiskan waktu untuk macam-macam perawatan lain karena endermologie sudah cukup sebagai terapi tunggal. Sedangkan untuk kasus yang tergolong berat, endermologie harus dikombinasikan dengan diet yang tepat serta beberapa jenis perawatan lain seperti body wrapping.
Walau praktis, mesin endermologie tidak boleh dioperasikan oleh tangan yang tak ahli. Pemakaian yang berlebihan malahan bisa menyebabnya kendurnya jaringan kulit dan sensitifitas pembuluh-pembuluh halus yang berlebihan. Endermologie juga tak boleh dilakukan pada kondisi-kondisi tubuh tertentu, misalnya adanya varises, tumor, infeksi kulit, penyakit jantung, dan kehamilan. Karena itu, untuk menentukan tepat atau tidaknya perawatan endermologie bagi seseorang, peranan seorang ahli sangat dibutuhkan.
Dari segi usia, endermologie boleh dilakukan oleh siapa saja, dari usia remaja hingga yang di atas 50 tahun sekalipun. Nah, tubuh langsing, terbentuk indah, dengan kulit halus dan kenyal, siapa yang tak mau?
January 15, 2004
[dewi magazine] Itang Yunasz: The Family Man (Now)
Berkarya, berkeluarga, beribadah, dan berbahagia. Kabar terbarunya saat ini.
Bisa dibilang, tak ada yang tak kenal nama Itang Yunasz di Indonesia. Tak hanya akrab dikenal oleh kalangan mode, wajah dan suaranya pun pernah menghiasi dunia film, musik, serta iklan. Sejak menjadi runner-up dalam Lomba Perancang Mode (LPM) yang diadakan Femina Group pada tahun 1981, kehadirannya di dunia mode semakin kuat dan eksis.
"Sejak kecil saya sudah senang menggambar dan tertarik pada mode," cerita Itang saat ditemui di butiknya di daerah Kebayoran Lama. Bakat seni rupanya diturunkan oleh kedua orangtuanya, ibunya gemar menjahit, sedangkan ayahnya yang tentara, senang melukis dan membuat patung. Kedua orangtuanya pun tak menghalangi saat ia memilih dunia mode sebagai tempatnya mencari nafkah.
Waktu itu, Itang sudah sering membuatkan desain untuk dipakai teman-temannya ke berbagai acara. Salah satunya adalah artis Jeny Rachman yang memesan busana rancangannya untuk dikenakan ke festival film. Karena belum memiliki tukang jahit sendiri, biasanya Itang membawa rancangannya ke tukang jahit langganan.
Sebenarnya Itang sudah pernah mengikuti LPM pada tahun 1979, tetapi hanya sampai tingkat semifinalis. Setelah itu, ia berkenalan dengan Renato Balestra, seorang desainer Italia yang kebetulan sedang mengadakan pergelaran di Jakarta. Dari perkenalan itu, Itang mendapat kesempatan untuk magang di rumah mode Balestra di Roma.
Selama setahun magang, Itang mendapat banyak pengalaman walaupun selalu merasa rindu pada kampung halaman. Selain selalu homesick, ia juga merasa kurang cocok dengan kehidupan jetset yang penuh pesta dari hari ke hari. Itang mengenang saat-saat ia berpuasa di musim panas yang harinya lebih panjang dibandingkan di Indonesia. Terlahir dalam keluarga besar -ia anak ke-6 dari 8 bersaudara- yang kuat dengan didikan Islami, ia merasa kehilangan banyak ritual yang biasa diikutinya di bulan Ramadhan bersama keluarga.
"Karena tidak tahan, akhirnya saya menghubungi ibu saya agar menulis surat ke tempat kerja yang isinya meminta saya pulang karena ada hal penting," cerita Itang mengenang keinginannya yang kuat untuk berhari raya bersama keluarga.
Setelah pulang ke Indonesia, Itang kembali mengikuti LPM pada tahun 1981. Kali ini ia berhasil meraih tempat kedua dengan rancangan bertema Angin Timur Angin Barat, yang memadukan sentuhan etnik Asia dan cutting yang siap pakai. Yang menarik, semua karyanya dalam lomba itu diborong seorang berkebangsaan Amerika yang kebetulan menginap di hotel Borobudur, tempat final lomba diadakan. Rupanya ia sangat tertarik dengan rancangan Itang yang menurutnya sangat eksotik.
"Dari uang kemenangan ditambah hasil penjualan baju, saya mendirikan Galeri Busana bersama Enny Soekamto dan Dhanny Dhahlan," kenang Itang. Sayangnya kesibukan Dhanny di dunia film, juga kesibukan Enny yang saat itu adalah peragawati nomor satu membuat usaha mereka menjadi kurang terkontrol. Akhirnya, pada awal tahun 1986, Itang memutuskan untuk mendirikan rumah mode dengan namanya sendiri, sedangkan Galeri Busana tetap dipegang oleh Enny Soekamto.
Sosoknya di dunia mode pun semakin kuat, garis-garis rancangannya selalu memadukan sisi feminin dan maskulin, serta berdaya pakai tinggi. Walau saat ini ia tak lagi sesering dulu mengadakan pergelaran, bukan berarti usahanya menyurut. Kini ia lebih memusatkan perhatian pada busana made-to-oder dari para pelanggan setianya, membuat seragam untuk berbagai perusahaan, bersiap membuka divisi baru khusus busana muslim siap pakai -yang rencananya akan diberi label Marakesh-, serta membuat kostum untuk sebuah film kolosal.
Sebenarnya ia pernah membuat divisi khusus baju pria yang dipasarkannya melalui kerjasama dengan Matahari, tetapi hanya bertahan 3 tahun karena harga-harganya terlalu tinggi untuk segmen pasar tersebut.
Itang mengakui bahwa kini busana dengan label namanya justru sukar ditemui. "Tahun 1997, saat keadaan ekonomi mulai morat-marit, saya memutuskan untuk tidak lagi mengirim baju ke berbagai department store seperti Metro, Sogo, dan Pasaraya. Toh kalau pun orang enginginkan rancangan saya, mereka sudah tahu tempat saya di sini."
Selain menangani berbagai pesanan di dalam negri, sejak tahun 1990 Itang juga mengekspor rancangannya ke Jeddah berupa busana-busana pesta. Walau kuantitasnya tak banyak, tetapi nilainya cukup tinggi. Para pembelinya di Arab mengenakan rancangan Itang untuk pergi ke pesta-pesta yang khusus dihadiri para wanita saja, sehingga mereka tak segan mengenakan busana serba terbuka.
"Tetapi yang menjadi penyangga dari semua divisi saya adalah divisi uniform," tutur Itang. Awalnya, sekitar tahun 90-an, ia memenangkan tender untuk membuat seragam bagi Grand Hyatt Hotel. Rancangannya ternyata begitu disukai hingga akhirnya ia dipercaya untuk menangani seragam semua Hotel Grand Hyatt di Indonesia hingga saat ini. Salah satu keunikan rancangannya adalah seragam untuk Grand Hyatt Nusa Dua yang menampilkan pelajaran menari Legong dalam bentuk motif pada seragam. Para turis yang berkunjung pun sering membeli seragam ini untuk oleh-oleh.
Saat berkarya, inspirasi bisa datang dari mana saja, tetapi -buat Itang-mengalir dengan deras justru di kamar mandi. Tak heran, di dalam kamar mandinya selalu tersedia pensil, spidol, dan kertas. "Saya bisa lama di kamar mandi karena sambil menggambar dan menulis berbagai keterangan cara memotong bahan serta pernik-perniknya," cerita Itang.
Kini irama hidup Itang sudah lebih tenang dibandingkan saat ia masih lebih muda dan menggebu-gebu. Apalagi setelah ia memiliki dua anak, Daffa dan Najla yang masih balita, buah pernikahan dengan istrinya, Yenny.
"Dari dulu saya memang sangat ingin berumahtangga, ternyata keinginan itu terkabul walau pada usia yang cukup berumur -40 tahun-. Sekarang saya merasa sudah cukup dengan apa yang saya miliki, dan saat inilah waktunya untuk mendidik dan memperhatikan anak-anak, " ujar Itang.
Keinginan untuk go internasional pun telah lama ditepiskannya, bukan karena merasa tak mampu, tetapi karena tak ingin lagi menggebu-gebu dalam masalah duniawi. Itang bersyukur karena merasa dirinya selalu diingatkan untuk berusaha menjadi semakin baik seiring pertambahan usia.
"Keinginan untuk bersikap lebih spiritual itu datangnya begitu tiba-tiba, dan -hebatnya- bisa saya terima dengan baik," ujar Itang. Saat ditemui dewi, sebenarnya ia baru kehilangan seorang kakak perempuannya yang meninggal karena sakit. Hal ini pun diterimanya sebagai suatu teguran atau peringatan.
"Kakak saya ini adalah contoh yang baik, khususnya bagi keluarga kami. Ia tak pernah meninggalkan ibadah sejak berumur 11 tahun sampai meninggalnya pada umur 55 tahun. Nah, bagaimana dengan kita-kita yang baru mulai umur 30 tahunan ini? Kalau tidak benar-benar berusaha menjadi lebih baik, tiba-tiba kesempatannya sudah hilang begitu saja."
Demikianlah Itang sekarang, sangat mensyukuri hidup dan segala yang telah diraihnya. Ia termasuk sedikit di antara orang-orang yang bisa dengan tegas menyatakan, "Saya sangat bahagia."
Bisa dibilang, tak ada yang tak kenal nama Itang Yunasz di Indonesia. Tak hanya akrab dikenal oleh kalangan mode, wajah dan suaranya pun pernah menghiasi dunia film, musik, serta iklan. Sejak menjadi runner-up dalam Lomba Perancang Mode (LPM) yang diadakan Femina Group pada tahun 1981, kehadirannya di dunia mode semakin kuat dan eksis.
"Sejak kecil saya sudah senang menggambar dan tertarik pada mode," cerita Itang saat ditemui di butiknya di daerah Kebayoran Lama. Bakat seni rupanya diturunkan oleh kedua orangtuanya, ibunya gemar menjahit, sedangkan ayahnya yang tentara, senang melukis dan membuat patung. Kedua orangtuanya pun tak menghalangi saat ia memilih dunia mode sebagai tempatnya mencari nafkah.
Waktu itu, Itang sudah sering membuatkan desain untuk dipakai teman-temannya ke berbagai acara. Salah satunya adalah artis Jeny Rachman yang memesan busana rancangannya untuk dikenakan ke festival film. Karena belum memiliki tukang jahit sendiri, biasanya Itang membawa rancangannya ke tukang jahit langganan.
Sebenarnya Itang sudah pernah mengikuti LPM pada tahun 1979, tetapi hanya sampai tingkat semifinalis. Setelah itu, ia berkenalan dengan Renato Balestra, seorang desainer Italia yang kebetulan sedang mengadakan pergelaran di Jakarta. Dari perkenalan itu, Itang mendapat kesempatan untuk magang di rumah mode Balestra di Roma.
Selama setahun magang, Itang mendapat banyak pengalaman walaupun selalu merasa rindu pada kampung halaman. Selain selalu homesick, ia juga merasa kurang cocok dengan kehidupan jetset yang penuh pesta dari hari ke hari. Itang mengenang saat-saat ia berpuasa di musim panas yang harinya lebih panjang dibandingkan di Indonesia. Terlahir dalam keluarga besar -ia anak ke-6 dari 8 bersaudara- yang kuat dengan didikan Islami, ia merasa kehilangan banyak ritual yang biasa diikutinya di bulan Ramadhan bersama keluarga.
"Karena tidak tahan, akhirnya saya menghubungi ibu saya agar menulis surat ke tempat kerja yang isinya meminta saya pulang karena ada hal penting," cerita Itang mengenang keinginannya yang kuat untuk berhari raya bersama keluarga.
Setelah pulang ke Indonesia, Itang kembali mengikuti LPM pada tahun 1981. Kali ini ia berhasil meraih tempat kedua dengan rancangan bertema Angin Timur Angin Barat, yang memadukan sentuhan etnik Asia dan cutting yang siap pakai. Yang menarik, semua karyanya dalam lomba itu diborong seorang berkebangsaan Amerika yang kebetulan menginap di hotel Borobudur, tempat final lomba diadakan. Rupanya ia sangat tertarik dengan rancangan Itang yang menurutnya sangat eksotik.
"Dari uang kemenangan ditambah hasil penjualan baju, saya mendirikan Galeri Busana bersama Enny Soekamto dan Dhanny Dhahlan," kenang Itang. Sayangnya kesibukan Dhanny di dunia film, juga kesibukan Enny yang saat itu adalah peragawati nomor satu membuat usaha mereka menjadi kurang terkontrol. Akhirnya, pada awal tahun 1986, Itang memutuskan untuk mendirikan rumah mode dengan namanya sendiri, sedangkan Galeri Busana tetap dipegang oleh Enny Soekamto.
Sosoknya di dunia mode pun semakin kuat, garis-garis rancangannya selalu memadukan sisi feminin dan maskulin, serta berdaya pakai tinggi. Walau saat ini ia tak lagi sesering dulu mengadakan pergelaran, bukan berarti usahanya menyurut. Kini ia lebih memusatkan perhatian pada busana made-to-oder dari para pelanggan setianya, membuat seragam untuk berbagai perusahaan, bersiap membuka divisi baru khusus busana muslim siap pakai -yang rencananya akan diberi label Marakesh-, serta membuat kostum untuk sebuah film kolosal.
Sebenarnya ia pernah membuat divisi khusus baju pria yang dipasarkannya melalui kerjasama dengan Matahari, tetapi hanya bertahan 3 tahun karena harga-harganya terlalu tinggi untuk segmen pasar tersebut.
Itang mengakui bahwa kini busana dengan label namanya justru sukar ditemui. "Tahun 1997, saat keadaan ekonomi mulai morat-marit, saya memutuskan untuk tidak lagi mengirim baju ke berbagai department store seperti Metro, Sogo, dan Pasaraya. Toh kalau pun orang enginginkan rancangan saya, mereka sudah tahu tempat saya di sini."
Selain menangani berbagai pesanan di dalam negri, sejak tahun 1990 Itang juga mengekspor rancangannya ke Jeddah berupa busana-busana pesta. Walau kuantitasnya tak banyak, tetapi nilainya cukup tinggi. Para pembelinya di Arab mengenakan rancangan Itang untuk pergi ke pesta-pesta yang khusus dihadiri para wanita saja, sehingga mereka tak segan mengenakan busana serba terbuka.
"Tetapi yang menjadi penyangga dari semua divisi saya adalah divisi uniform," tutur Itang. Awalnya, sekitar tahun 90-an, ia memenangkan tender untuk membuat seragam bagi Grand Hyatt Hotel. Rancangannya ternyata begitu disukai hingga akhirnya ia dipercaya untuk menangani seragam semua Hotel Grand Hyatt di Indonesia hingga saat ini. Salah satu keunikan rancangannya adalah seragam untuk Grand Hyatt Nusa Dua yang menampilkan pelajaran menari Legong dalam bentuk motif pada seragam. Para turis yang berkunjung pun sering membeli seragam ini untuk oleh-oleh.
Saat berkarya, inspirasi bisa datang dari mana saja, tetapi -buat Itang-mengalir dengan deras justru di kamar mandi. Tak heran, di dalam kamar mandinya selalu tersedia pensil, spidol, dan kertas. "Saya bisa lama di kamar mandi karena sambil menggambar dan menulis berbagai keterangan cara memotong bahan serta pernik-perniknya," cerita Itang.
Kini irama hidup Itang sudah lebih tenang dibandingkan saat ia masih lebih muda dan menggebu-gebu. Apalagi setelah ia memiliki dua anak, Daffa dan Najla yang masih balita, buah pernikahan dengan istrinya, Yenny.
"Dari dulu saya memang sangat ingin berumahtangga, ternyata keinginan itu terkabul walau pada usia yang cukup berumur -40 tahun-. Sekarang saya merasa sudah cukup dengan apa yang saya miliki, dan saat inilah waktunya untuk mendidik dan memperhatikan anak-anak, " ujar Itang.
Keinginan untuk go internasional pun telah lama ditepiskannya, bukan karena merasa tak mampu, tetapi karena tak ingin lagi menggebu-gebu dalam masalah duniawi. Itang bersyukur karena merasa dirinya selalu diingatkan untuk berusaha menjadi semakin baik seiring pertambahan usia.
"Keinginan untuk bersikap lebih spiritual itu datangnya begitu tiba-tiba, dan -hebatnya- bisa saya terima dengan baik," ujar Itang. Saat ditemui dewi, sebenarnya ia baru kehilangan seorang kakak perempuannya yang meninggal karena sakit. Hal ini pun diterimanya sebagai suatu teguran atau peringatan.
"Kakak saya ini adalah contoh yang baik, khususnya bagi keluarga kami. Ia tak pernah meninggalkan ibadah sejak berumur 11 tahun sampai meninggalnya pada umur 55 tahun. Nah, bagaimana dengan kita-kita yang baru mulai umur 30 tahunan ini? Kalau tidak benar-benar berusaha menjadi lebih baik, tiba-tiba kesempatannya sudah hilang begitu saja."
Demikianlah Itang sekarang, sangat mensyukuri hidup dan segala yang telah diraihnya. Ia termasuk sedikit di antara orang-orang yang bisa dengan tegas menyatakan, "Saya sangat bahagia."
Subscribe to:
Posts (Atom)