October 07, 2005

[eve magazine] Liburan Paling Hebat

Saya mengenal diri sendiri lebih mendalam dengan belajar untuk tidak menjadi diri sendiri. Oleh: Novita Estiti, Senior Fashion Editor.

Saya orang yang mudah kesal, terutama bila ada hal-hal yang menurut saya- tidak teratur, misalnya buku yang tidak disusun berdasarkan kategori, arsip yang tidak terurut secara kronologis, atau daftar belanja yang tidak dipilah berdasarkan kelompok jenis. Anak kecil juga bisa membuat saya kesal, karena mereka melompat-lompat, berteriak, dan berbicara tanpa alasan logis. Pendek kata, saya gemar keteraturan –yang sebenarnya merupakan indikasi pada ego saya yang pastilah kelewatan.

Dengan segala peraturan logis (yang menjadi tidak logis saat harus dipertahankan), tidak heran bahwa kadang-kadang saya merasa begitu lelah. Kalau lelah dengan rutinitas sehari-hari, saya bisa mengambil cuti dan berlibur ke pulau Bali. Tapi mungkinkah cuti dari diri sendiri dan menjadi orang lain barang beberapa hari saja? Ah, seandainya ada lorong rahasia di belakang lemari yang berujung ke dalam kepala John Malkovich....

Saya tak pernah menyangka bahwa cuti dari diri sendiri bukan hal mustahil. Tiga tahun yang lalu, 2 strip pada alat penguji kehamilan menjadi awal liburan panjang saya. Sejak itu, saya cuti dari Novita Estiti dan langsung memfungsikan diri sebagai sebuah inkubator dan induk. Semua kebutuhan dan keinginan pribadi tersingkirkan, digantikan dengan semua kebutuhan dan keinginan seorang ibu. Sungguh tak pernah terbayangkan oleh saya bahwa tidak memikirkan diri sendiri itu ternyata jauh lebih menyenangkan. Bukankah hal ini sangat tidak logis?

Saya cuti dari kebiasaan berkegiatan di malam hari dan tidur di siang hari. Hal ini luar biasa mengingat bahwa saya pernah berhenti dari suatu pekerjaan karena enggan bangun pagi, sedangkan kini saya bangun jam enam pagi dengan riang gembira. Demi kualitas ASI, saya berhenti minum kopi, setelah sebelumnya terbiasa minum kopi hingga 5-6 gelas per hari. Saya tak lagi minum soft drink dan menggantinya dengan air putih serta berbagai juice buah-buahan. Percaya atau tidak, ada orang yang membenci buah-buahan, dan itulah saya.

Saya memasak sendiri makanan sehari-hari Sidra, bayi saya, serta mulai mengoleksi buku resep. Mungkin ini bukan hal yang hebat bagi sebagian orang, tapi bagi saya yang lebih memilih makan pil makanan –seandainya ada- daripada menghabiskan 10 menit mengunyah-ngunyah, hal ini adalah terobosan terdepan seumur hidup saya.

Jangan bicarakan soal koleksi buku yang tersusun rapi berdasarkan genre atau peringkat favorit. Tentu saja semuanya kini berantakan karena sebagian buku hanya ditumpuk tergesa-gesa tanpa aturan, sedangkan sebagian lagi telah kehilangan sebagian halaman sebagai korban kegiatan motorik Sidra. Saya merasa takjub luar biasa ketika memandang tumpukan buku yang tidak karuan tanpa sedikit pun ada rasa sakit mencubit hati.

Saya tidak lagi punya identitas milik sendiri. Setiap kali saya berpikir ‘aku’, Sidra menggantikan tempat itu. Kini saya adalah satu dari ibu-ibu itu, yang bangga setengah mati pada anak sendiri, yang memajang semua foto anak (yang terurut secara kronologis dalam folder-folder di komputer) dan tidak bisa berhenti bicara tentang anak. Peduli amat dengan eksistensi pribadi yang dulu saya anggap penting.

Inilah cuti paling hebat dalam hidup saya, dan saya berterima kasih sebesar-besarnya kepada Sidra yang telah memberikan semua itu. Atas semua itu, maka dengan senang hati saya menjalankan semua kewajiban. Saya tidak merasa punya hak apa pun sebagai orangtua kepada Sidra. Saya yang membawanya ke sini, saya yang harus bertanggung jawab. Lagipula, dengan hanya menjalankan semua kewajiban kepadanya, saya telah mengalami hal yang begitu luar biasa. Sungguh tidak logis bila saya masih menuntut hak sebagai orangtua.

Saya sadar sekali bahwa –secara logis- semua liburan pasti akan berakhir. Pada saatnya nanti, saya harus kembali pada diri sendiri dan membiarkan Sidra dengan hidupnya. Dan bila saat itu tiba, saya yakin akan kembali dengan perasaan senang dan segar layaknya pulang liburan, membawa oleh-oleh cinta yang tak akan lekang. Untuk Sidra, saya hanya berharap telah berhasil menyuburkan hatinya agar kelak kebahagiaan mudah tumbuh di sana. Semoga kelak ia mampu mengambil keputusan dan berbahagia dengan pilihan hidupnya. Ia tak perlu menjadi apa pun untuk membahagiakan saya, ia hanya perlu membahagiakan dirinya sendiri, dan saya pun akan turut bahagia.

Suatu malam, seperti biasa saya dan Sidra mengobrol sebelum tidur. Bagi yang belum tahu, cobalah mengobrol dengan anak berumur dua tahun, dan rasakan nikmatnya berbicara tanpa logika. Setelah menceritakan tentang kucing dan gajah dan susu dan bantal dan papa, tiba-tiba Sidra berhenti bicara dan memandangi mata saya dengan serius. Lalu senyumnya mengembang sambil menunjuk bola mata saya sampai telunjuknya hampir mencolok mata. Ia berkata, “Di mata Mama... ada Sidra.”

Saya sudah hampir menjelaskan mengenai efek bayangan dan pantulan, tapi kemudian saya memilih untuk menjawab –secara tidak logis-, “Tidak hanya di mata Mama, sayang.” Lalu kami berpelukan erat-erat.

Foto: Firman J. Maksum

-eve magazine, October 2005-