Saya menerima wajah saya apa adanya. Masa? Yang penting hatinya baik. Masa? Saya tidak peduli pada fisik. Ah, masa?
Acara saya malam itu adalah menonton Miss Universe 2001 di televisi bersama dua orang teman. Begitulah, sederetan wanita cantik memperkenalkan diri satu-persatu, sedangkan saya dan teman-teman memberikan komentar seperti 'Nah, yang itu cantik!' dan 'Ah, lewat, lewat...' atau 'Yaah... boleh, boleh.' Lalu sang pembawa acara, Naomi Campbel, mengajukan pertanyaan 'What is the biggest misconception about beauty?' Sambil tersenyum standar ratu kecantikan,
Miss Venezuela menjawab, 'Seringkali kecantikan itu hanya dinilai dari luarnya saja, padahal cantik yang sebenarnya berasal dari dalam hati, inner beauty.'
Saya jadi ingin tertawa. Ha, ha, ha. Bayangkan saja, yang bertanya adalah supermodel (pekerjaan dengan kategori fisik tertentu), yang menjawab Miss Venezuela (terpilih karena kategori fisik tertentu), konteksnya Miss Universe 2001 (kriterianya adalah kategori fisik tertentu), dan kesimpulan akhirnya adalah inner beauty lebih berarti daripada outer beauty! Bukan, bukan pernyataan itu yang saya tertawakan, tetapi keseluruhan peristiwa itu, yang tak ubahnya sandiwara di mana semua orang bersandiwara dan tahu bahwa orang lain juga bersandiwara.
Inner beauty itu apa? Seorang rekan kerja saya yang tercinta pernah mendiskusikan inner beauty secara berapi-api. Kalau saya tak salah tangkap, buat dia, inner beauty adalah bohong belaka. Seseorang hanya bisa disebut cantik kalau secara fisik dia tampak menarik. Biarpun hatinya baik, tapi kalau secara fisik tak menarik, ya berarti tidak cantik. Setuju! Lho, bukannya arogan atau apa, kita kan bicara soal cantik, bukan hati yang baik. Cantik ya cantik, baik ya baik.
Kedua hal itu sama sekali berbeda. Jadi inner beauty itu sebenarnya hanyalah pengungkapan eufemisme untuk membesarkan hati mereka yang secara fisik tidak cantik tetapi tetap ingin disebut cantik juga.
Rupanya di sinilah letak inti permasalahan kita, keinginan untuk disebut cantik sesuai konsep yang diterima saat ini. Hal ini semakin sulit dipenuhi karena konsep kecantikan yang disebar-luaskan melalui media massa nampaknya semakin tidak membumi. Sosok cantik dan tampan berserakan di halaman majalah, televisi, billboard, dan iklan. Ke mana pun mata memandang, nampaklah sosok yang sebegitu indah fisiknya itu. Padahal -tentu saja- mereka bukan orang
yang biasa ditemui di jalanan. Mereka sudah dipilih dari sekian banyak calon model yang semuanya indah secara fisik. Mereka berolahraga secara teratur, penampilan akhir mereka adalah rekaan penata rias dan rambut profesional. Hasil akhirnya masih bisa di-retouch dengan kecanggihan komputer.
Tetapi di layar kaca atau halaman majalah, mereka muncul sebagai ibu rumah tangga biasa atau karyawan biasa, sehingga menimbulkan perasaan bahwa mereka sama saja seperti orang biasa. Dan semua itu membuat seseorang bisa menganggap mereka sebagai saingan tak ubahnya tetangga sendiri. Konsep kecantikan rekaan seperti ini sebenarnya hanyalah taktik bisnis paling
berhasil dalam sejarah perindustrian.
Untuk nampak lebih cantik dan menarik, kita dianjurkan untuk menggunakan conditioner tertentu atau menggunakan merek make-up tertentu. Dengan lihainya, produsen memanfaatkan keinginan dasar manusia untuk dibutuhkan dan menawarkan solusinya. Kaum feminis menyalahkan pria dan masyarakat yang patriarkal atas hal ini. Kaum sosialis menyalahkan kapitalisme dan industri periklanan. Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa pria dan wanita saat ini menjadi lebih terobsesi pada keinginan untuk tampil menarik? Mengapa
mereka percaya bahwa dengan menjadi cantik dan menjadi menarik adalah jawaban semua masalah?
Karena hal itu memang benar, paling tidak pada jaman dahulu kala. Ketika manusia masih hidup di jaman batu, kulit yang nampak bersinar, rambut mengkilat, dan tubuh indah merupakan penanda bahwa pemiliknya sehat, dan ini berarti kemampuannya bertahan hidup lebih besar. Pada masa itu, semakin besar kemampuan bertahan hidup seseorang, semakin besar eluangnya mendapatkan pasangan. Kebutuhan dasar manusia -dan semua makhluk hidup lainnya- adalah bereproduksi, dan saat itu semua manusia dengan jujur mengakui memiliki kebutuhan itu. Manusia modern mungkin dengan pintarnya sudah membuat berbagai excuse untuk mengingkari hal itu.
Inilah alasan utama -atau awal- wanita untuk tampak cantik, dan pria untuk tampak kuat dan tampan. Kecemasan berlebihan untuk tampak menarik sebenarnya berakar pada keinginan untuk melanjutkan keturunan. Bila tak menarik, berarti tak dibutuhkan. Bila tak dibutuhkan, berarti tak punya pasangan untuk bereproduksi. Reproduksi. As simple as that.
Jadi sebenarnya, penampilan fisik hanyalah sebuah tolok ukur untuk menilai besarnya kemampuan bertahan hidup seseorang. Lalu datanglah peradaban. Kemajuan teknologi membuat kemampuan bertahan hidup semua orang meningkat, yang tidak sehat bisa disehatkan oleh kemajuan ilmu kesehatan. Dan kecantikan jadi kehilangan alasan, sedangkan kebiasaan manusia untuk ingin tampil cantik masih tetap ada.
Dulu manusia mencari pembanding dengan melihat sekelilingnya. Batasan biasa-biasa mudah ditemui dengan melihat para penghuni lain dalam habitat hidupnya. Tetapi sekarang, batasan biasa-biasa ini sulit sekali dicari, terutama setelah melihat televisi atau majalah yang mengetengahkan orang-orang biasa yang sebenarnya tidak biasa itu.
Di film, Alicia Silverstone adalah murid SMU biasa, George Clooney adalah dokter di rumah sakit umum, dan Bella Saphira adalah seorang ibu dengan anak remaja. Tidak heran, banyak orang yang sebenarnya tak punya masalah dengan fisiknya, mengaku-aku jelek dan tidak menarik, lalu mulai mencari jalan untuk memperbaiki fisik. Bedah plastik lalu menjadi pilihan.
Padahal sebenarnya bedah plastik dikembangkan untuk membantu mereka yang benar-benar memiliki kekurangan -bahkan kelainan- fisik. Bila usia sudah empatpuluhan, maka Anda melakukan facelift untuk menarik keriput di muka. Pernahkah terpikir bahwa keriput yang seperti itu memang sudah sewajarnya ada di usia empatpuluhan?
Yang paling hebat adalah breast implant. Menurut saya, ini adalah jenis bedah plastik yang sama sekali tidak ada gunanya, kecuali bagi mereka yang menjalani pengangkatan payudara. Tetapi ternyata breast implant termasuk jenis bedah plastik yang paling banyak dibicarakan, diangkat sebagai polemik, dan tiap beberapa waktu, muncullah komentar ahli yang membahas jenis implan baru dan menjelaskan bahayanya implan lama (yang tentunya sudah terpasang di dada ribuan wanita).
Tak kalah populernya adalah rhinoplasty atau pembentukan hidung. Anda pasti sudah sering melihat buktinya berupa hidung Eropa yang mancung di wajah para wanita Indonesia yang bulat. Pembentukan hidung termasuk bedah plastik yang hasilnya nampak jelas, jadi saya kadang-kadang heran bila ada wanita yang menampik keras dugaan bahwa hidungnya hasil bedah plastik sambil menambahkan bahwa hidungnya yang nampak berubah itu hanya karena ia berganti penata rias. Ini dualisme yang hampir selalu muncul, mau menjalani bedah plastik, tetapi nampaknya malu untuk mengakuinya. Mungkin takut dianggap terlahir kurang menarik?
Tetapi yang paling menyedihkan, adalah bila mereka yang tak berkantong cukup tebal juga memaksakan diri untuk mengikuti kemajuan teknologi ini. Tidak ada bedah plastik yang murah, bila ada, lebih baik tidak dipercaya. Saya tidak akan menceritakan mengenai betapa buruknya hasil bedah plastik sembarangan ini, contohnya sudah cukup banyak. Sayangnya, -mungkin- belum cukup banyak.
Bila dipikir lagi, kalau cuma karena keinginan bereproduksi, kok dagu Anda sampai harus disuntik silikon agar nampak lebih panjang? Percaya sajalah bahwa Anda ini menarik, kalau pun tidak cantik atau tampan, yang penting tubuh Anda sehat, dan paling tidak hati Anda baik. Kalau jaman dulu manusia hanya dinilai dari kemampuannya bereproduksi, mungkin jaman sekarang inner beauty bisa dipertimbangkan, bukan?
So, honey, how do I look? (Say beautiful or else)
June 20, 2001
June 18, 2001
[a+ magazine] It's A Louis Vuitton Party
Dua hari di Malaysia, diakhiri dengan malam pesta di gedung sekolah. Wanna party? Ask these people.
"Kamu menginap di mana?"
"Ritz-Carlton Hotel," jawab saya.
"Wah, mana cukuplah uang kamu!" sergah sang petugas imigrasi KLIA (Kuala Lumpur International Airport) yang bertubuh tinggi besar dan berkumis melintang itu.
Oooh... rupanya inilah duduk permasalahannya hingga mereka menyuruh saya pergi ke kantor imigrasi dan melakukan perbincangan di atas dengan petugas imigrasi setelah disuruh menunggu hampir satu jam lamanya tanpa alasan yang jelas. Pada awalnya adalah petugas
imigrasi di counter yang -entah karena keisengan apa- menanyakan tentang berapa uang tunai yang saya bawa. Sebagai seseorang yang jujur, tentu saja saya jawab dengan jujur.
Menghadapi sergahannya, dengan gesitnya saya segera membuka tas untuk mengeluarkan undangan dari Louis Vuitton sekaligus mengeluarkan kartu-kartu kredit dan debet dari dalam dompet.
"Saya wartawan, datang ke sini atas undangan dari Louis Vuitton, ini undangannya. Selain itu saya juga memiliki sejumlah kartu kredit serta kartu debet yang diterbitkan oleh bank terkemuka dan berlaku secara internasional (hua ha ha...)."
Sambil menghirup udara kebebasan -mungkin hampir seperti inilah perasaan napi pada hari pertama kebebasan, oh maaf, berlebihan ya?- saya melangkah keluar. Kemunculan saya disambut dengan gerakan melambai yang bersemangat oleh Vissia Milana dari majalah Female Indonesia, disusul oleh Cicilia King dari Louis Vuitton dan Nanda dari majalah Dewi. Seperti biasa, dengan lagak marah-marah, saya menceritakan kejadian tersebut kepada rekan-rekan yang sudah kebingungan itu. Ridiculous. Tidak mungkin dong saya berkunjung ke luar negri hanya membawa sejumlah tunai tanpa jaminan apa pun.
Akhirnya sampai juga saya di Malaysia. Negara yang sudah lama ingin saya kunjungi, justru karena begitu miripnya dengan negri sendiri. Insiden di atas justru semakin mempererat hubungan kemiripan tersebut. Menunggu dipanggil saat di kantor imigrasi tersebut hampir sama rasanya seperti menunggu dipanggil di kantor kelurahan waktu membuat KTP, saya jadi tidak sempat merasa homesick.
Di pintu bandara, kami berpisah dengan Cicilia yang menginap terpisah di Hotel Regent. Setelah memastikan janji-janji untuk bertemu nanti sore, maka berangkatlah saya, Vissia, dan Nanda ke Ritz-Carlton Hotel. Perjalanan dari bandara ke hotel ternyata memakan waktu lebih lama dari penerbangan Jakarta-Kuala Lumpur. Saya terlelap sesaat, diiringi lagu Sephia dari Sheila on 7 (berjayalah Yogyakarta).
Anyway, kedatangan saya adalah untuk menghadiri pembukaan Louis Vuitton Starhill New-Concept Store di Starhill Shopping Centre yang disusul dengan pesta di Bukit Bintang Girls' School. A Louis Vuitton party? Berdasarkan beberapa pengalaman sebelumnya, saya yakin bahwa pesta ini akan berlangsung seru. I knew these LV people.
Malam pertama di Kuala lumpur diisi dengan dinner di sebuah restoran Thailand, Rama V, bersama para jurnalis lain dari Singapura. Tigabelas orang duduk lesehan di seputar meja persegi, makanan lezat, dan entah kenapa hanya memiliki tiga subyek pembicaraan yang diulang-ulang: bedah plastik, go-go boys, dan cerita hantu. Subyek yang terakhir ini ditentang keras oleh Cicilia King dengan menyumbat telinga rapat-rapat sepanjang pembicaraan bertema hantu.
Esoknya, setelah makan siang di Sentidos Tapas, restoran Mexico tak jauh dari butik, kami menghadiri press conference di Louis Vuitton Store di Starhill. Menapakkan kaki di parquette floor butik berlantai dua itu, saya jadi agak-agak iri. Bukan karena ingin rumah seperti itu, tapi karena di Indonesia -Plaza Senayan-, butik Louis Vuitton hanya satu lantai dan tidak menyediakan koleksi busana rancangan Marc Jacobs seperti di Kuala Lumpur. Butik ini merupakan yang ke-delapan di Asia Pasifik, setelah tiga di Hong Kong, dan masing-masing di Taiwan, Sidney, Singapura, dan Korea. Please, please let Jakarta be the next... hey, I need to shoot some fashion pages.
Tiga pasang model muncul membawakan koleksi ready-to-wear, sepatu, dan aksesori. Pasang mata baik-baik pada grafitti line-nya, the hottest items in town. Menurut Mr. Hugues Witvoet, President dari LVMH Fashion Group Asia Pasifik, ini merupakan gebrakan cerdas Marc Jacobs atas keklasikan Louis Vuitton untuk menarik pelanggan baru dari golongan usia lebih muda sekaligus mempertahankan pelanggan lama.
Malam akhirnya menjelang. Time to party. Sebelumnya, makan malam dulu di restoran Pickled Ginger. Saya bertemu lagi dengan ibu Inka Utan, General Manager Louis Vuitton Indonesia, yang baru tiba sore itu dari Jakarta. Pertemuan sebelumnya terjadi sewaktu saya masih bekerja untuk majalah Dewi.
Dinner ended abruptly. Karena sudah jam sembilan, kami melewatkan dessert dan segera melangkahkan kaki cepat-cepat ke Louis Vuitton Store. Starhill Shopping Centre sudah penuh manusia. Di lantai bawah, ada makhluk besar berbentuk kupu-kupu dengan Monogram logo di sayapnya (sebenarnya the Butterfly Man dari Australia ini adalah manusia yang berdiri di atas
egrang sambil membentangkan sayap kain yang besar sekali). Kami menukarkan undangan dengan gelang Louis Vuitton yang harus dikenakan sebagai tanda undangan.
Tiba-tiba terjadi desakan massa, rupanya seorang selebriti baru saja datang dan para wartawan foto menyeruak ke depan bersamaan. Tanpa bisa melihat wajahnya, saya diberi tahu bahwa yang baru tiba adalah Tony Leung, aktor Hong Kong terkenal. Saya mulai kehabisan nafas, dan memilih untuk bersandar ke dinding. Sheila Madjid melintas cepat di depan mata, bersama make-up artist-nya dan beberapa orang lagi. Rambutnya bermodel bob sekarang. Lalu pemandangan saya tertutup oleh serombongan pria berbusana ketat dan transparan.
That's it. I'm leaving. Kami berempat -kembali ke formasi awal di bandara- memutuskan untuk pergi ke tempat pesta daripada berdesakan tanpa berbuat dan melihat apa-apa. Tempat yang digunakan untuk pesta berada di seberang Starhill, yaitu sebuah sekolah yang baru saja ditutup karena dipindahkan. Picture this: rombongan manusia dalam dandanan pesta, menyeberang jalan pada jam sepuluh malam dari sebuah pusat perbelanjaan ke sebuah sekolah, dibantu oleh petugas lalu-lintas yang memegang stopper dengan stop sign di satu sisi dan Monogram logo di baliknya, serta tiga ekor anjing German Shepherd. It's surreal.
Bukit Bintang Girls' School benar-benar berbentuk sekolah tempo dulu dengan kelas-kelasnya. Ruangan pertama yang saya masuki berdinding gelap, dengan lampu ultraviolet di sana-sini. Tiga buah kotak acrylic raksasa berisikan para model Louis Vuitton, sedangkan di bagian tengah ruangan, seorang contortionist dari New York beraksi meliuk-liukkan tubuh secara tidak masuk akal di atas panggung. Monogram logo tercetak samar di tubuh dan kepalanya yang tak berambut. Gelas-gelas champagne dan wine tak berhenti ditawarkan.
Kegerahan, saya keluar dari ruang gelap itu dan berjalan di lorong sekolahan yang ditutupi kain
berwarna oranye. Lorong itu penuh dengan para tamu yang sedang makan Chinese food dalam kotak karton dengan sumpit. Detik berikutnya, saya sudah berada di sebuah ruangan dengan cermin menutupi dinding. Di dalamnya ada sofa-sofa, dan orang-orang yang duduk sambil makan, ngobrol, atau bengong sama sekali, serta musik berdentam-dentam. Cahaya yang cuma sedikit membuat saya tak bisa mengira-ngira seluas apa ruangan itu, dan apakah manusia di dalamnya memang sebanyak kesan yang saya tangkap atau hanya pantulan yang dipantulkan lagi oleh dinding cermin.
Kembali ke dark blue room, seorang penyanyi wanita berkulit hitam naik ke atas panggung dan menyuarakan lagu-lagu jazz. Setelah nyanyian dengan suara bertenaga itu, musik kembali diambil alih oleh DJ dengan dance music. Para tamu kembali berdansa dengan bersemangat, tak peduli pada panasnya ruangan. Champagne kembali beredar, tak kurang dari 1000 botol
Moet & Chandon dibuka malam itu.
Lewat tengah malam, kami memutuskan untuk keluar ruangan. Saya menghirup udara segar di halaman sekolah, lalu makan dua mangkuk kecil sorbet yang diedarkan untuk mendinginkan suasana pesta. Beberapa buah corong di atap sekolah menghembuskan uap air setiap beberapa puluh detik. Saya, Vissia, dan Nanda berjalan kaki ke hotel, pesta masih berlangsung meriah
di belakang kami, dan di sepanjang jalan ada beberapa orang yang sedang tidur atau bengong kebanyakan minum. Karena esoknya harus pulang dengan penerbangan pagi, kami tak bisa terus tinggal untuk pesta yang kabarnya baru usai pukul setengah lima pagi itu.
These Louis Vuitton people. They really know how to party.
"Kamu menginap di mana?"
"Ritz-Carlton Hotel," jawab saya.
"Wah, mana cukuplah uang kamu!" sergah sang petugas imigrasi KLIA (Kuala Lumpur International Airport) yang bertubuh tinggi besar dan berkumis melintang itu.
Oooh... rupanya inilah duduk permasalahannya hingga mereka menyuruh saya pergi ke kantor imigrasi dan melakukan perbincangan di atas dengan petugas imigrasi setelah disuruh menunggu hampir satu jam lamanya tanpa alasan yang jelas. Pada awalnya adalah petugas
imigrasi di counter yang -entah karena keisengan apa- menanyakan tentang berapa uang tunai yang saya bawa. Sebagai seseorang yang jujur, tentu saja saya jawab dengan jujur.
Menghadapi sergahannya, dengan gesitnya saya segera membuka tas untuk mengeluarkan undangan dari Louis Vuitton sekaligus mengeluarkan kartu-kartu kredit dan debet dari dalam dompet.
"Saya wartawan, datang ke sini atas undangan dari Louis Vuitton, ini undangannya. Selain itu saya juga memiliki sejumlah kartu kredit serta kartu debet yang diterbitkan oleh bank terkemuka dan berlaku secara internasional (hua ha ha...)."
Sambil menghirup udara kebebasan -mungkin hampir seperti inilah perasaan napi pada hari pertama kebebasan, oh maaf, berlebihan ya?- saya melangkah keluar. Kemunculan saya disambut dengan gerakan melambai yang bersemangat oleh Vissia Milana dari majalah Female Indonesia, disusul oleh Cicilia King dari Louis Vuitton dan Nanda dari majalah Dewi. Seperti biasa, dengan lagak marah-marah, saya menceritakan kejadian tersebut kepada rekan-rekan yang sudah kebingungan itu. Ridiculous. Tidak mungkin dong saya berkunjung ke luar negri hanya membawa sejumlah tunai tanpa jaminan apa pun.
Akhirnya sampai juga saya di Malaysia. Negara yang sudah lama ingin saya kunjungi, justru karena begitu miripnya dengan negri sendiri. Insiden di atas justru semakin mempererat hubungan kemiripan tersebut. Menunggu dipanggil saat di kantor imigrasi tersebut hampir sama rasanya seperti menunggu dipanggil di kantor kelurahan waktu membuat KTP, saya jadi tidak sempat merasa homesick.
Di pintu bandara, kami berpisah dengan Cicilia yang menginap terpisah di Hotel Regent. Setelah memastikan janji-janji untuk bertemu nanti sore, maka berangkatlah saya, Vissia, dan Nanda ke Ritz-Carlton Hotel. Perjalanan dari bandara ke hotel ternyata memakan waktu lebih lama dari penerbangan Jakarta-Kuala Lumpur. Saya terlelap sesaat, diiringi lagu Sephia dari Sheila on 7 (berjayalah Yogyakarta).
Anyway, kedatangan saya adalah untuk menghadiri pembukaan Louis Vuitton Starhill New-Concept Store di Starhill Shopping Centre yang disusul dengan pesta di Bukit Bintang Girls' School. A Louis Vuitton party? Berdasarkan beberapa pengalaman sebelumnya, saya yakin bahwa pesta ini akan berlangsung seru. I knew these LV people.
Malam pertama di Kuala lumpur diisi dengan dinner di sebuah restoran Thailand, Rama V, bersama para jurnalis lain dari Singapura. Tigabelas orang duduk lesehan di seputar meja persegi, makanan lezat, dan entah kenapa hanya memiliki tiga subyek pembicaraan yang diulang-ulang: bedah plastik, go-go boys, dan cerita hantu. Subyek yang terakhir ini ditentang keras oleh Cicilia King dengan menyumbat telinga rapat-rapat sepanjang pembicaraan bertema hantu.
Esoknya, setelah makan siang di Sentidos Tapas, restoran Mexico tak jauh dari butik, kami menghadiri press conference di Louis Vuitton Store di Starhill. Menapakkan kaki di parquette floor butik berlantai dua itu, saya jadi agak-agak iri. Bukan karena ingin rumah seperti itu, tapi karena di Indonesia -Plaza Senayan-, butik Louis Vuitton hanya satu lantai dan tidak menyediakan koleksi busana rancangan Marc Jacobs seperti di Kuala Lumpur. Butik ini merupakan yang ke-delapan di Asia Pasifik, setelah tiga di Hong Kong, dan masing-masing di Taiwan, Sidney, Singapura, dan Korea. Please, please let Jakarta be the next... hey, I need to shoot some fashion pages.
Tiga pasang model muncul membawakan koleksi ready-to-wear, sepatu, dan aksesori. Pasang mata baik-baik pada grafitti line-nya, the hottest items in town. Menurut Mr. Hugues Witvoet, President dari LVMH Fashion Group Asia Pasifik, ini merupakan gebrakan cerdas Marc Jacobs atas keklasikan Louis Vuitton untuk menarik pelanggan baru dari golongan usia lebih muda sekaligus mempertahankan pelanggan lama.
Malam akhirnya menjelang. Time to party. Sebelumnya, makan malam dulu di restoran Pickled Ginger. Saya bertemu lagi dengan ibu Inka Utan, General Manager Louis Vuitton Indonesia, yang baru tiba sore itu dari Jakarta. Pertemuan sebelumnya terjadi sewaktu saya masih bekerja untuk majalah Dewi.
Dinner ended abruptly. Karena sudah jam sembilan, kami melewatkan dessert dan segera melangkahkan kaki cepat-cepat ke Louis Vuitton Store. Starhill Shopping Centre sudah penuh manusia. Di lantai bawah, ada makhluk besar berbentuk kupu-kupu dengan Monogram logo di sayapnya (sebenarnya the Butterfly Man dari Australia ini adalah manusia yang berdiri di atas
egrang sambil membentangkan sayap kain yang besar sekali). Kami menukarkan undangan dengan gelang Louis Vuitton yang harus dikenakan sebagai tanda undangan.
Tiba-tiba terjadi desakan massa, rupanya seorang selebriti baru saja datang dan para wartawan foto menyeruak ke depan bersamaan. Tanpa bisa melihat wajahnya, saya diberi tahu bahwa yang baru tiba adalah Tony Leung, aktor Hong Kong terkenal. Saya mulai kehabisan nafas, dan memilih untuk bersandar ke dinding. Sheila Madjid melintas cepat di depan mata, bersama make-up artist-nya dan beberapa orang lagi. Rambutnya bermodel bob sekarang. Lalu pemandangan saya tertutup oleh serombongan pria berbusana ketat dan transparan.
That's it. I'm leaving. Kami berempat -kembali ke formasi awal di bandara- memutuskan untuk pergi ke tempat pesta daripada berdesakan tanpa berbuat dan melihat apa-apa. Tempat yang digunakan untuk pesta berada di seberang Starhill, yaitu sebuah sekolah yang baru saja ditutup karena dipindahkan. Picture this: rombongan manusia dalam dandanan pesta, menyeberang jalan pada jam sepuluh malam dari sebuah pusat perbelanjaan ke sebuah sekolah, dibantu oleh petugas lalu-lintas yang memegang stopper dengan stop sign di satu sisi dan Monogram logo di baliknya, serta tiga ekor anjing German Shepherd. It's surreal.
Bukit Bintang Girls' School benar-benar berbentuk sekolah tempo dulu dengan kelas-kelasnya. Ruangan pertama yang saya masuki berdinding gelap, dengan lampu ultraviolet di sana-sini. Tiga buah kotak acrylic raksasa berisikan para model Louis Vuitton, sedangkan di bagian tengah ruangan, seorang contortionist dari New York beraksi meliuk-liukkan tubuh secara tidak masuk akal di atas panggung. Monogram logo tercetak samar di tubuh dan kepalanya yang tak berambut. Gelas-gelas champagne dan wine tak berhenti ditawarkan.
Kegerahan, saya keluar dari ruang gelap itu dan berjalan di lorong sekolahan yang ditutupi kain
berwarna oranye. Lorong itu penuh dengan para tamu yang sedang makan Chinese food dalam kotak karton dengan sumpit. Detik berikutnya, saya sudah berada di sebuah ruangan dengan cermin menutupi dinding. Di dalamnya ada sofa-sofa, dan orang-orang yang duduk sambil makan, ngobrol, atau bengong sama sekali, serta musik berdentam-dentam. Cahaya yang cuma sedikit membuat saya tak bisa mengira-ngira seluas apa ruangan itu, dan apakah manusia di dalamnya memang sebanyak kesan yang saya tangkap atau hanya pantulan yang dipantulkan lagi oleh dinding cermin.
Kembali ke dark blue room, seorang penyanyi wanita berkulit hitam naik ke atas panggung dan menyuarakan lagu-lagu jazz. Setelah nyanyian dengan suara bertenaga itu, musik kembali diambil alih oleh DJ dengan dance music. Para tamu kembali berdansa dengan bersemangat, tak peduli pada panasnya ruangan. Champagne kembali beredar, tak kurang dari 1000 botol
Moet & Chandon dibuka malam itu.
Lewat tengah malam, kami memutuskan untuk keluar ruangan. Saya menghirup udara segar di halaman sekolah, lalu makan dua mangkuk kecil sorbet yang diedarkan untuk mendinginkan suasana pesta. Beberapa buah corong di atap sekolah menghembuskan uap air setiap beberapa puluh detik. Saya, Vissia, dan Nanda berjalan kaki ke hotel, pesta masih berlangsung meriah
di belakang kami, dan di sepanjang jalan ada beberapa orang yang sedang tidur atau bengong kebanyakan minum. Karena esoknya harus pulang dengan penerbangan pagi, kami tak bisa terus tinggal untuk pesta yang kabarnya baru usai pukul setengah lima pagi itu.
These Louis Vuitton people. They really know how to party.
Subscribe to:
Posts (Atom)