June 20, 2001

[a+ magazine] How Do I Look?

Saya menerima wajah saya apa adanya. Masa? Yang penting hatinya baik. Masa? Saya tidak peduli pada fisik. Ah, masa?

Acara saya malam itu adalah menonton Miss Universe 2001 di televisi bersama dua orang teman. Begitulah, sederetan wanita cantik memperkenalkan diri satu-persatu, sedangkan saya dan teman-teman memberikan komentar seperti 'Nah, yang itu cantik!' dan 'Ah, lewat, lewat...' atau 'Yaah... boleh, boleh.' Lalu sang pembawa acara, Naomi Campbel, mengajukan pertanyaan 'What is the biggest misconception about beauty?' Sambil tersenyum standar ratu kecantikan,
Miss Venezuela menjawab, 'Seringkali kecantikan itu hanya dinilai dari luarnya saja, padahal cantik yang sebenarnya berasal dari dalam hati, inner beauty.'

Saya jadi ingin tertawa. Ha, ha, ha. Bayangkan saja, yang bertanya adalah supermodel (pekerjaan dengan kategori fisik tertentu), yang menjawab Miss Venezuela (terpilih karena kategori fisik tertentu), konteksnya Miss Universe 2001 (kriterianya adalah kategori fisik tertentu), dan kesimpulan akhirnya adalah inner beauty lebih berarti daripada outer beauty! Bukan, bukan pernyataan itu yang saya tertawakan, tetapi keseluruhan peristiwa itu, yang tak ubahnya sandiwara di mana semua orang bersandiwara dan tahu bahwa orang lain juga bersandiwara.

Inner beauty itu apa? Seorang rekan kerja saya yang tercinta pernah mendiskusikan inner beauty secara berapi-api. Kalau saya tak salah tangkap, buat dia, inner beauty adalah bohong belaka. Seseorang hanya bisa disebut cantik kalau secara fisik dia tampak menarik. Biarpun hatinya baik, tapi kalau secara fisik tak menarik, ya berarti tidak cantik. Setuju! Lho, bukannya arogan atau apa, kita kan bicara soal cantik, bukan hati yang baik. Cantik ya cantik, baik ya baik.
Kedua hal itu sama sekali berbeda. Jadi inner beauty itu sebenarnya hanyalah pengungkapan eufemisme untuk membesarkan hati mereka yang secara fisik tidak cantik tetapi tetap ingin disebut cantik juga.

Rupanya di sinilah letak inti permasalahan kita, keinginan untuk disebut cantik sesuai konsep yang diterima saat ini. Hal ini semakin sulit dipenuhi karena konsep kecantikan yang disebar-luaskan melalui media massa nampaknya semakin tidak membumi. Sosok cantik dan tampan berserakan di halaman majalah, televisi, billboard, dan iklan. Ke mana pun mata memandang, nampaklah sosok yang sebegitu indah fisiknya itu. Padahal -tentu saja- mereka bukan orang
yang biasa ditemui di jalanan. Mereka sudah dipilih dari sekian banyak calon model yang semuanya indah secara fisik. Mereka berolahraga secara teratur, penampilan akhir mereka adalah rekaan penata rias dan rambut profesional. Hasil akhirnya masih bisa di-retouch dengan kecanggihan komputer.

Tetapi di layar kaca atau halaman majalah, mereka muncul sebagai ibu rumah tangga biasa atau karyawan biasa, sehingga menimbulkan perasaan bahwa mereka sama saja seperti orang biasa. Dan semua itu membuat seseorang bisa menganggap mereka sebagai saingan tak ubahnya tetangga sendiri. Konsep kecantikan rekaan seperti ini sebenarnya hanyalah taktik bisnis paling
berhasil dalam sejarah perindustrian.

Untuk nampak lebih cantik dan menarik, kita dianjurkan untuk menggunakan conditioner tertentu atau menggunakan merek make-up tertentu. Dengan lihainya, produsen memanfaatkan keinginan dasar manusia untuk dibutuhkan dan menawarkan solusinya. Kaum feminis menyalahkan pria dan masyarakat yang patriarkal atas hal ini. Kaum sosialis menyalahkan kapitalisme dan industri periklanan. Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa pria dan wanita saat ini menjadi lebih terobsesi pada keinginan untuk tampil menarik? Mengapa
mereka percaya bahwa dengan menjadi cantik dan menjadi menarik adalah jawaban semua masalah?

Karena hal itu memang benar, paling tidak pada jaman dahulu kala. Ketika manusia masih hidup di jaman batu, kulit yang nampak bersinar, rambut mengkilat, dan tubuh indah merupakan penanda bahwa pemiliknya sehat, dan ini berarti kemampuannya bertahan hidup lebih besar. Pada masa itu, semakin besar kemampuan bertahan hidup seseorang, semakin besar eluangnya mendapatkan pasangan. Kebutuhan dasar manusia -dan semua makhluk hidup lainnya- adalah bereproduksi, dan saat itu semua manusia dengan jujur mengakui memiliki kebutuhan itu. Manusia modern mungkin dengan pintarnya sudah membuat berbagai excuse untuk mengingkari hal itu.

Inilah alasan utama -atau awal- wanita untuk tampak cantik, dan pria untuk tampak kuat dan tampan. Kecemasan berlebihan untuk tampak menarik sebenarnya berakar pada keinginan untuk melanjutkan keturunan. Bila tak menarik, berarti tak dibutuhkan. Bila tak dibutuhkan, berarti tak punya pasangan untuk bereproduksi. Reproduksi. As simple as that.

Jadi sebenarnya, penampilan fisik hanyalah sebuah tolok ukur untuk menilai besarnya kemampuan bertahan hidup seseorang. Lalu datanglah peradaban. Kemajuan teknologi membuat kemampuan bertahan hidup semua orang meningkat, yang tidak sehat bisa disehatkan oleh kemajuan ilmu kesehatan. Dan kecantikan jadi kehilangan alasan, sedangkan kebiasaan manusia untuk ingin tampil cantik masih tetap ada.

Dulu manusia mencari pembanding dengan melihat sekelilingnya. Batasan biasa-biasa mudah ditemui dengan melihat para penghuni lain dalam habitat hidupnya. Tetapi sekarang, batasan biasa-biasa ini sulit sekali dicari, terutama setelah melihat televisi atau majalah yang mengetengahkan orang-orang biasa yang sebenarnya tidak biasa itu.

Di film, Alicia Silverstone adalah murid SMU biasa, George Clooney adalah dokter di rumah sakit umum, dan Bella Saphira adalah seorang ibu dengan anak remaja. Tidak heran, banyak orang yang sebenarnya tak punya masalah dengan fisiknya, mengaku-aku jelek dan tidak menarik, lalu mulai mencari jalan untuk memperbaiki fisik. Bedah plastik lalu menjadi pilihan.

Padahal sebenarnya bedah plastik dikembangkan untuk membantu mereka yang benar-benar memiliki kekurangan -bahkan kelainan- fisik. Bila usia sudah empatpuluhan, maka Anda melakukan facelift untuk menarik keriput di muka. Pernahkah terpikir bahwa keriput yang seperti itu memang sudah sewajarnya ada di usia empatpuluhan?

Yang paling hebat adalah breast implant. Menurut saya, ini adalah jenis bedah plastik yang sama sekali tidak ada gunanya, kecuali bagi mereka yang menjalani pengangkatan payudara. Tetapi ternyata breast implant termasuk jenis bedah plastik yang paling banyak dibicarakan, diangkat sebagai polemik, dan tiap beberapa waktu, muncullah komentar ahli yang membahas jenis implan baru dan menjelaskan bahayanya implan lama (yang tentunya sudah terpasang di dada ribuan wanita).

Tak kalah populernya adalah rhinoplasty atau pembentukan hidung. Anda pasti sudah sering melihat buktinya berupa hidung Eropa yang mancung di wajah para wanita Indonesia yang bulat. Pembentukan hidung termasuk bedah plastik yang hasilnya nampak jelas, jadi saya kadang-kadang heran bila ada wanita yang menampik keras dugaan bahwa hidungnya hasil bedah plastik sambil menambahkan bahwa hidungnya yang nampak berubah itu hanya karena ia berganti penata rias. Ini dualisme yang hampir selalu muncul, mau menjalani bedah plastik, tetapi nampaknya malu untuk mengakuinya. Mungkin takut dianggap terlahir kurang menarik?
Tetapi yang paling menyedihkan, adalah bila mereka yang tak berkantong cukup tebal juga memaksakan diri untuk mengikuti kemajuan teknologi ini. Tidak ada bedah plastik yang murah, bila ada, lebih baik tidak dipercaya. Saya tidak akan menceritakan mengenai betapa buruknya hasil bedah plastik sembarangan ini, contohnya sudah cukup banyak. Sayangnya, -mungkin- belum cukup banyak.

Bila dipikir lagi, kalau cuma karena keinginan bereproduksi, kok dagu Anda sampai harus disuntik silikon agar nampak lebih panjang? Percaya sajalah bahwa Anda ini menarik, kalau pun tidak cantik atau tampan, yang penting tubuh Anda sehat, dan paling tidak hati Anda baik. Kalau jaman dulu manusia hanya dinilai dari kemampuannya bereproduksi, mungkin jaman sekarang inner beauty bisa dipertimbangkan, bukan?

So, honey, how do I look? (Say beautiful or else)

No comments: