August 29, 1998

[Kompas] Harus Kembali Membangun Keindonesiaan

SAYA orang Indonesia asli, begitu disebutkan. Bukan, saya bukan Tionghoa. Saya wanita Jawa asli, muslim, yang biasanya disebut pribumi; bukan Tionghoa. Lalu kenapa? Kenapa kalau saya bukan Tionghoa? Apa itu pribumi? Siapa itu pribumi?

Sejak masa kerusuhan sampai sekarang, saya menjalani hidup seperti biasa. Makan, minum, jalan-jalan dengan teman. Mau ke mana pun saya suka, saya bisa. Saya tidak takut, ‘kan Jakarta sudah aman. Yah, walau memang, hidup agak susahlah sedikit; harus berhemat, maklum sedang ada krisis moneter yang lebih dikenal dengan krismon. Tapi semua orang juga begitu, harus berhemat. Semua orang?

Sungguh tidak adil bahwa saya masih tenang-tenang menjalani hidup saya seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal sementara itu ada begitu banyak orang yang bukan saja tidak menjalani kehidupan biasanya, bahkan tidak punya hidup lagi walaupun mungkin tidak mati. Tapi bisa jadi juga merasa lebih baik mati.

Bagaimana saya bisa begitu bodoh selama ini? Saya telah tumbuh dan dibesarkan di antara makhluk buas. Dan saya tidak tahu. Saya kira saya orang paling beruntung di dunia, hidup di tempat yang paling aman, damai, tenteram, dan sentosa. Itu seperti kata ibu dan bapak guru waktu di sekolahan dulu; yang saya sungguh percaya.

Walaupun pernah ketika kecil dulu saya masih di Semarang ikut orangtua, tahun 1980, bertanya-tanya apa maksud tulisan "pribumi" di banyak pintu rumah penduduk. Kata ibu, itu supaya aman, tidak dikira Tionghoa. Saya tetap tak mengerti penjelasan ibu, tetapi mengangguk-angguk tak berani tanya lebih jauh. Lalu sekolah diliburkan tiba-tiba lewat pengumuman di TV dan surat kabar. Tentu saja saya senang, buat bocah kelas 3 SD, bisa mendapat libur tiba-tiba adalah suatu anugerah yang mahal.

Tapi waktu masuk lagi, salah seorang teman saya sibuk bercerita tentang bagaimana ia dan keluarganya melarikan diri dan bersembunyi dari sekelompok pribumi yang mengamuk. Pribumi, lagi-lagi pribumi, kejam sekali mereka itu, para pribumi, begitu pikir saya. Moga-moga saya tidak pernah bertemu dengan salah seorang pribumi itu. Bodoh ya, kelas 3 SD waktu itu saya belum tahu persis makna istilah tersebut.

Lama..., lama saya baru memahami kalau saya adalah salah seorang dari kelompok menakutkan tersebut, karena ternyata saya pribumi. Karena ibu-bapak saya pribumi, eyang-eyang saya pribumi, buyut dan seterusnya pribumi. Dan karena Jawa itu pribumi. Juga Batak, Minang, Manado, dan lain-lain semua pribumi. Yang tidak pribumi cuma satu; cuma Tionghoa. Absurd.

Untuk pembauran, Tionghoa harus ganti nama. Jangan A Liang atau Li Ling. Itu tidak boleh! Tidak pembauran! Dan akhirnya mereka menciptakan nama-nama baru, yang kadang teramat bagus, dan nama marga mereka jadi kabur, tercerabut dari akar budaya.

Ada pula yang punya dua nama, yang satu nama ‘resmi’, yang lainnya diletakkan dalam kurung (nama kecil). Terkurung, seperti hidup yang harus mereka jalani. Terkurung birokrasi, terkurung keegoisan manusia lain yang menyombongkan kemayoritasannya. Terkurung di tanah yang indah berhiaskan nyiur melambai.


***


Maafkan saya, karena tidak tahu harus bagaimana. Maafkan saya, karena tidak tahu harus berbuat apa. Maafkan saya, karena telah menutup mata karena tak tega menyaksikan.

Berulang kali saya mencoba, tapi tangan saya selalu terlalu gemetar untuk memutar nomor-nomor telepon teman-teman saya itu. Bagaimana kalau kabar buruk yang saya dengar? Bagaimana kalau ia tak ada lagi... entah ke mana, bagaimana kalau ia terlalu menderita? Sanggupkah saya menolong? Apa yang bisa dilakukan setelah semua kehancuran ini?

Wanita-wanita dipermalukan dan dilecehkan. Hidup macam apa yang bisa dijalani setelah itu (kalau masih ada hidup), saya tak sanggup, tak kuat untuk membayangkan. Dan bisa jadi salah seorang dari mereka adalah teman saya. Bisa jadi salah satu teman saya yang sering jalan bareng, yang selalu saya cintai dan hargai.

Saya sudah muak dengan segala berita politik dan reformasi yang tiap hari kini didengung-dengungkan semua orang. Sekarang semua orang angkat bicara, berapi-api dan bersemangat bagaikan pejuang kemerdekaan dahulu.

Sekarang begitu banyak pengamat ekonomi, politik, dan sosial, yang begitu cemerlang mengemukakan ide-ide ini dan itunya. Para pemberani seakan lahir bersamaan di muka bumi Nusantara ini, menyuarakan suara rakyat kecil (dan siapa sih rakyat kecil itu, apakah saya termasuk di dalamnya?). Di mana mereka, para pemberani itu, tiga-empat bulan yang lalu? Apakah mereka sedang tertidur pulas dibuai angin sepoi-sepoi di bawah nyiur hijau di tepi pantai yang indah permai hasil pembangunan?

Apa pun yang terjadi kini, buat sebagian orang, sudah tak ada artinya lagi.


***


SEJARAH menyatakan, penduduk Indonesia datang dari daratan Tionghoa berabad-abad yang silam. Kemudian beberapa puluh tahun lalu, kerabat-kerabatnya menyusul dari Tionghoa.

Tapi tidak; tidak bisa disebut demikian! Karena yang datang duluan sudah berubah wujud menjadi pribumi, dan yang datang kemudian harus tetap disebut Tionghoa, pendatang.

Hanya karena kita datang duluan, lalu kita jadi berbeda? Ya. Ya, itulah adanya yang diyakini di sini, sekarang.


Saya wanita, sama seperti ratusan wanita yang dilecehkan hari itu.

Saya Jawa, pribumi, sama seperti ratusan makhluk buas hari itu.

Saya orang Indonesia, sama seperti ratusan orang yang dikejar dan mengejar hari itu.

Saya muslimat, saya percaya pada Allah, dan saya berlindung kepada-Nya.

Ya Allah, ke mana hati ini harus kubawa?

Indonesia, Indonesia, sebegitu hancur dan buruknya. Tapi saya telanjur jadi orang Indonesia, karena lahir dan dibesarkan di sini; tak dapat mengubah nasib ini lagi. Walaupun ternyata tak ada nyiur melambai dan padi kuning merayu, saya telanjur jatuh cinta pada Indonesia. Dan kira-kira begitu juga yang dirasakan oleh banyak orang Indonesia lainnya.

Lalu kenapa kita harus mempersoalkan perbedaan? Bukankah kita memang berbeda? Bukankah itu yang membedakan manusia dari binatang? Perbedaan yang membuat manusia beragam dan bermacam-macam. Apa menariknya sekumpulan manusia yang tak berbeda, bagaikan segerombolan robot dari sebuah pabrik. Ataukah kita memang sedang dalam proses robotisasi, menjadi boneka-boneka yang mudah dibentuk oleh tangan-tangan tertentu. Seperti sekumpulan bebek yang beriringan ke arah mana pun sang gembala mau: sama, sama, sama. Yang tidak sama adalah musuh, yang berbeda harus diperangi, dihancurkan, disingkirkan.

Kebencian ditanamkan dan diturunkan dari kakek ke anak, ke cucu, ke buyut. Apa mereka itu bodoh semua dan hanya menerima begitu saja, tanpa punya pikiran sendiri? Kebencian yang akhirnya tanpa alasan, menjadi kosong, hampa, hanya kebencian atas nama kebencian semata. Dan bagaikan robot yang hanya tergerakkan oleh kebencian, mereka berbuat dan bertindak tidak lagi menjadi manusia. Mereka kehilangan hakekatnya sebagai manusia dan merobek-robek hakekat manusia lainnya.

Tiap malam saya buka internet, memaksakan diri membaca berita dari mana-mana yang aktual. Dan saya gemetaran dan menangis tanpa mampu berbuat apa-apa manakala mendapati berita yang mengerikan menyangkut negeri saya. Saya jadi tersiksa, memendam berbagai pertanyaan, dan pemikiran, dan pengandaian. Andaikan tak terjadi, andaikan tak terjadi...

Saya begitu sedih dan kecewa. Tidak ada lagi kebanggaan dan rasa aman yang selama ini melingkupi. Saya memandangi sekeliling saya dengan penuh kecurigaan. Jangan-jangan dia makhluk buas itu, jangan-jangan dia makhluk biadab itu... Hancur sudah dunia mimpi yang kekanakan dulu itu.

Mulai saat ini, saya harus hidup dengan penuh kewaspadaan, bahkan kecurigaan pada manusia dengan topeng-topengnya. Mungkin juga saya harus mulai membuat topeng-topeng untuk saya pakai agar hidup saya aman. Agar saya tidak tiba-tiba menghilang dari dunia, rohaniah atau sekalian badaniah.

Saya orang Indonesia, seperti dua ratus juta lainnya yang berstatus Warga Negara Indonesia, apa pun sukunya. Saya orang Indonesia, asli atau tidak asli saya tidak lagi peduli. Saya orang Indonesia, apakah masih boleh bangga kalau kenyataannya sekarang setelah 53 tahun merdeka masih harus kembali kerja keras membangun keindonesiaan?

1 comment:

Anonymous said...

Saya tersentuh membacanya. Ternyata masih ada orang Indonesia yg benar2 bangga menjadi "orang Indonesia", tanpa mempertanyakan semua itu.Good writing, indeed, Nov. Salute!