October 18, 2003

[a+ magazine] Soundtracks of My Life

Kalau hidup saya adalah sebuah film, maukah Anda membeli soundtrack CD-nya?

Malam itu begitu gelap. Nampaknya lampu-lampu jalanan tak lagi berfungsi. Sepinya jalan membuat saya menekan pedal gas semakin kuat, sambil menyenandungkan ‘The Tide is High’ dari Atomic Kitten yang menggaung keras dari perangkat audio mobil. Tak terduga, tiba-tiba dari arah depan, sebuah mobil meluncur tepat ke depan saya. Saya berusaha membanting setir ke kiri, tapi mobil tak mampu terkendali, menabrak pagar pengaman, terlempar, dan akhirnya terbalik. Pandangan saya pun mulai mengabur, sebuah cahaya perlahan muncul di atas sana. Sudah waktunya. Sementara di latar belakang, Atomic Kitten masih berdendang tak henti-henti,’The tide is high and I’m holding on, I’m gonna be your number one. The tide is high and I’m holding on, I’m gonna be your number one. Nuuuumber one, nuuuuumber one....’

Aaaah, untunglah itu semua cuma mimpi buruk, karena (1) saya tidak bisa menyetir mobil, dan (2) Atomic Kitten? (3) Atomic Kitten? (lagi) (4) Apa? Atomic Kitten? Yang bener lu?

Kadang-kadang saya membayangkan hidup ini seperti sebuah film, dan tentunya haruslah ada serangkaian musik yang tepat sebagai soundtrack-nya. Anda tak mau kan momen penting seperti di atas rusak hanya gara-gara musik pengiring tak tepat?

Jadi, apa pilihan lebih tepat untuk mengiringi adegan tersebut? Yang paling hip jatuh pada ‘Bring Me to Life’-nya Evanesence. Bagaimana menurut Anda? Musik rock menderu-deru, suara penyanyi wanita yang bening, dentuman suara vokalis pria: ‘Wake me up inside (I can’t wake up), wake me up inside (save me), call my name and save me from the dark…’, sementara kamera berpindah-pindah cepat antara wajah saya dengan mobil yang melaju kencang membahayakan, serta lampu mobil di depan yang tiba-tiba membelah kabut. Lalu mobil saya menabrak dan terlempar hingga terbalik tepat saat si vokalis pria berteriak: ‘Save meeee….’ Mengiris, bukan? Sayang sudah digunakan untuk soundtrack Daredevil.

Sebenarnya pilihan ini terlalu pop untuk saya yang cenderung retro (maksudnya bergaya jaman dulu, bukan yang di Crowne Plaza). Saya lebih suka memilih ‘The End’ dari The Doors. Judulnya saja sudah kena, apalagi liriknya: ‘This is the end, beautiful friend. This is the end, my only friend, the end…’. Seiring dengan semakin perlahannya suara Jim Morrison, pandangan saya pun semakin mengabur. Dengan gerak lambat, pandangan saya beralih ke langit. Begitu banyak bintang di langit yang hitam, suara Jim Morrison berganti dengan derik jangkrik. Pasti sutradaranya Francis Ford Coppola. Lho, tapi kan lagu ini memang dipakai sebagai opening song film Coppola tahun 1979, Apocalypse Now. Jadi saya masih harus mencari lagu lain dong.

Mengkhayal dengan diiringi musik memang nikmat. Tak hanya saat mengkhayal sesuatu yang belum atau tidak akan terjadi, tapi juga saat mengenang sesuatu yang sudah berlalu. Saya punya kebiasaan mengorganisir pikiran saya berdasarkan lagu-lagu yang pernah saya dengar. Bisa jadi karena iramanya, mungkin karena liriknya, atau hanya karena kebetulan saja lagu itu diputar saat sesuatu sedang terjadi. Itulah sebabnya, kalau saya mendengar Rio Febrian dan Glenn Fredly melantunkan ‘Katakan Kau Milikku’ dengan mendayu-dayu, saya pasti merasa sedang makan mangga sambil minum bir, mengobrol dengan seseorang yang spesial, dan merasa senang kembali.

Praktis, bukan? Jadi saat mendengar lagu tertentu, secara otomatis otak akan memutar juga pikiran yang berkaitan. Bisa dikatakan, saya ‘menyimpan’ pikiran dalam lagu-lagu. Dan saat saya ingin mengingat suatu pikiran tertentu (bisa kenangan, bisa pula cuma ide atau khayalan), saya cukup memutar lagu yang berkaitan. Kalau saya mendengar ‘Big Yellow Taxi’ dari The Neighbourhood (boleh juga yang versi The Counting Crows): ‘…don't it always seem to go that you don't know what you've got till it's gone. They paved paradise and put up a parking lot...’, maka terbayanglah saya berjalan bergandengan tangan dengan seorang anak laki-laki balita di sebuah pantai sepi nun jauh di negara asing. Saya memakai kacamata berbingkai bulat, kaos singlet dan celana pendek tie-dye. Demikian juga si balita. Kami berjalan pelan-pelan sambil menikmati suasana. Kapankah itu terjadi? Oh maaf, ini cuma khayalan kok.

Lalu kalau sedang ingin menggali kreativitas, lagu apa yang harus saya dengar? Nampaknya ‘Wish’ dari Franka Potente yang paling tepat. ‘I wish I was a writer who sees what's yet unseen. I wish I was a prayer expressing what I mean. I wish I was a forest of trees that do not hide. I wish I was a clearing no secrets left inside.’ Dan semoga pikiran yang buntu pun mengalir lancar. Yeah you wish.

Sistem ini jadi sedikit menyusahkan karena beberapa hal, yaitu: (1) kalau saya lupa apa lagunya, dan (2) lama-kelamaan saya sulit membedakan antara kenangan yang sungguh terjadi dengan yang khayalan belaka. Itulah akibat terlalu banyak berkhayal.

Nah, apakah theme song yang tepat untuk film kehidupan saya ini? Saya memilih ‘For Once in My Life’. Coba dengarkan: ‘For once in my life, I have someone who needs me, someone I've needed so long. For once unafraid, I can go where life leads me and somehow I know I'll be strong.... Oh begitu penuh harapan. Semua orang pasti ingin merasakan hal itu. Tak heran, lagu ini tak pernah absen dari setiap resepsi pernikahan di Gran Mahakam. Daftar penyanyinya pun berderet: Frank Sinatra, Gladys Knight and the Pips, The Temptations, Stevie Wonder, Vonda Shepard, dan –believe me, I’ve been doing a list- masih banyak lagi. Yah, tak apalah kalau theme song hidup saya ternyata sudah terlalu banyak dinyanyikan orang. Mungkin ini berarti keinginan saya pun tak beda dari keinginan banyak orang.

Pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang tersimpan dalam lagu ini merupakan kenikmatan pribadi. Diam-diam saya merasa senang, sedih, bingung, penuh harapan, atau marah saat lagunya diputar. Ada baiknya saya mulai mengumpulkan lagu-lagu tersebut, menyimpannya dalam CD, dan menjudulinya ‘Soundtrack of My Life’. Ingat, ini bukan semata CD lagu-lagu, tapi merupakan media penyimpan pikiran. Di dalamnya ada kenangan, khayalan, dan harapan.

Lho, tapi ternyata bukan saya saja yang suka berkhayal sambil mendengarkan lagu. Hal ini sudah dilakukan oleh SEMUA orang. Tidak orisinil juga ya. Itu menjelaskan kenapa mas-mas sopir depan rumah saya tiba-tiba tersenyum sendiri kalau mendengar Inul menyanyi ‘Dikocok-kocok’. Ada kenangan apa, mas? Oh, nggak, saya cuma teringat goyang ngebor-nya mbak Inul itu (tidak bisa berhenti senyum-senyum).

Itu juga sebabnya muncullah berbagai acara lagu-lagu nostalgia di televisi. Para Bapak-bapak dan Ibu-ibu ternyata juga gemar berkhayal dan mengenang. Ibu saya tak bisa dipindahkan dari depan televisi pada hari Minggu malam. Kaset dan CD lagu kenangan pun tak pernah berhenti diterbitkan. Classic Love Song? 20 Evergreen Memories? 18 Tembang Emas? The Best of Rachmat Kartolo dkk? Take your pick.

By the way, saya masih belum menemukan soundtrack yang tepat untuk adegan tabrakan tadi. Hmm, bagaimana dengan ‘An Angel is Love’? Sebuah cahaya mengapung pelan di atas saya. Tubuh saya semakin ringan, tangan-tangan lembut mengangkat tubuh saya. Perasaan saya begitu lepas dan bahagia, samar-samar mengalunlah ‘...a beggar is sorrow, the devil is hate. A dream is tomorrow, a fool cannot wait. And honesty’s beauty that rises above to look in the eyes of an angel. An angel is love….’ Saya menoleh ke samping, lho kok ada seorang wanita berambut pirang dengan kostum bikini futuristik? Saya baru ingat, lagu inipun sudah menjadi soundtrack film Jane Fonda tahun 1968, Barbarella.

Pencarian masih berlanjut, sementara kesadaran saya perlahan timbul. Saya pun mulai bertanya-tanya, pentingkah pencarian ini dilanjutkan? Nampaknya lebih baik kalau saya tidur lagi, dan mengharapkan mimpi yang lain.

Sambil mengetik, muncullah video klip terbaru Justin Timberlake, ‘Rock Your Body’, di layar televisi saya. Dalam ruangan kerlap-kerlip itu, ia menari: ‘Don't be so quick to walk away. Dance with me, I wanna rock your body. Please stay...’ Tiba-tiba keasyikan saya terganggu dengan bunyi bel pintu. Bergegas saya ke depan dan membuka pintu pagar. “Eeh, dik Justin, silakan masuk.... Udah, sandal jepitnya dipake aja.” Wah, pasti ini mimpi lagi, karena (1) rumah saya tidak ada bel pintunya, dan (2) Justin Timberlake pasti tidak memakai sandal jepit.

No comments: