November 18, 2003

[a+ magazine] Everything is Back

Sejarah saja berulang, apalagi mode.

Waktu saya kecil, ada sebuah peti besar berwarna biru di gudang rumah saya di Surabaya. Di situlah, ibu saya menyimpan berbagai perangkat masa lalunya untuk dibuka sewaktu-waktu. Tas tangan kulit buaya (asli tentunya), berbagai tas kulit bertekstur unik, boots merah maroon
setinggi lutut, leather gloves, syal bulu selembut kucing angora (memang dari kucing angora?), tweed coat hijau botol, dan berbagai aksesori yang dulu saya anggap begitu tak masuk akal.

Tetapi kini, betapa irinya saya pada masa muda sang ibunda. Apalagi menyimak semangat vintage dan retro yang terus-menerus datang dan kembali ke dunia mode. Nampaknya sekarang ini sangatlah beresiko untuk membuang sesuatu hanya karena sudah tidak in lagi. Perputaran mode makin lama makin cepat dan bolak-balik terus, dari back to sixties sampai back to eighties, back to sixties lagi, black is back, mod is back, punk is back, everything is back, dan seterusnya.

Apa kira-kira yang akan terjadi kalau semuanya sudah dibolak-balik sampai bosan? Mungkin majalah ini dan semua media yang mengusung mode akan segera bangkrut karena semua orang mengenakan jumpsuit seragam dari bahan metalik seperti dalam film-film science fiction. Tamatlah riwayat rumah mode dan para desainer menjadi pengangguran. Mungkin para wanita hanya mengenakan busana ala perban seperti Milla Jovovich dalam film Fifth Element. By the way, busana itu hasil rancangan Jean Paul Gaultier, jadi masih ada harapan untuk para desainer.
OK, stop the rambling thoughts. Marilah berharap mode masih hidup paling tidak sampai manusia mulai memakai transporter untuk berpindah tempat. Dan sebelum itu terjadi, kita masih bisa menikmati perputaran mode yang bolak-balik itu. Coba lihat, vintage apa lagi yang kembali digemari sekarang? (Oh peti biru itu!) Tas kulit eksotis (bukan dari hewan aslinya, mau di-demo oleh PETA?), tas-tas kulit bertekstur unik, boots semata kaki sampai selutut, leather gloves, dan berbagai perangkat masa lalu itu kini bisa kita sambut kembali.

Andaikan peti besar biru itu kini ada di rumah saya, terbayanglah sudah begitu banyak padu-padan super trendy yang bisa saya ciptakan. Sayangnya, sang peti berikut isinya sudah dimusnahkan kakak ipar saya yang kini menempati rumah itu. Sampai kini, nampaknya ia masih bertanya-tanya mengapa tiap kali bertemu, saya meremas tangannya erat-erat sambil menatap matanya dengan pandangan menghunjam.

November 15, 2003

[BMW Magazine] Lima Menit Bersama Seorang Ratu

Cantik, ramah, hangat, bersuara bagus, dan tentu saja pintar. Amelia Vega memang pantas menjadi Miss Universe.

Mobil BMW 735 Li abu-abu berhenti di depan lobby Hotel Le Meridien, Jakarta. Saat pintu terbuka, keluarlah sosok cantik setinggi 183 cm. Ia berdiri sejenak sambil tersenyum manis di samping mobil saat juru kamera mengambil gambarnya. Semua itu, ditambah dengan kesibukan para pengawal di sekitarnya mengingatkan pada suasana kehadiran seorang superstar di acara
Oscar.

Tak heran, yang datang ini memang layak disebut superstar baru karena ialah Miss Universe 2003, Amelia Vega dari Republik Dominika. Gelar itu disandangnya sejak Juni lalu di kota Panama, setelah menyingkirkan sekitar 70 gadis cantik dari berbagai negara. Gadis berusia 18 tahun ini membuat negaranya sangat bangga, karena inilah pertama kalinya gelar Miss Universe jatuh ke tangan warga Republik Dominika.

Sejak menjabat gelar Miss Universe 2003, Amelia tinggal di New York untuk bekerjasama dengan beberapa organisasi HIV/AIDS internasional sebagai juru bicara. Ia berkeliling dunia untuk berkampanye meningkatkan kesadaran akan AIDS, serta pencegahannya terutama di kalangan remaja. Selain itu, ia juga mengkampanyekan kesadaran akan hak-hak perempuan serta kepedulian pada kesehatan reproduksi.

Kunjungannya ke Indonesia di bulan Juli merupakan bagian dari serangkaian jadwal padat yang dijalaninya sebagai duta kecantikan. Ditemui setelah sebuah sesi pemotretan di sejuah majalah wanita, Amelia masih sempat memberikan kesempatan wawancara walau ia harus segera bersiap-siap untuk menghadiri acara pergelaran Putri Indonesia malam harinya.

Kesan lelah sama sekali tak nampak pada wajahnya. Yang terpancar justru sikap ramah, hangat, dan kepercayaan dirinya yang kuat. Di usia yang tergolong sangat muda, gadis kelahiran 7 November 1985 ini mampu menampilkan kematangan dan kehangatan layaknya seorang wanita dewasa.

Bagaimana hidup Anda berubah setelah menyandang gelar Miss Universe?

Semuanya sangat berbeda. Sebelumnya saya hanyalah Miss Dominika, mewakili negara saya sendiri. Kini saya sangat bahagia menyandang gelar ini karena sekarang saya tak hanya mewakili Dominika, tetapi juga seluruh dunia, termasuk Indonesia, negara Anda yang indah.

Kontribusi apa yang akan Anda berikan pada dunia melalui peran baru ini?

Sebagai Miss Universe, saya berkeliling dunia untuk mengkampanyekan kesadaran akan AIDS. Beberapa minggu yang lalu, saya mengunjungi para gay yang menderita AIDS, menghabiskan waktu untuk berkumpul dan berbincang dengan mereka. Itulah salah satu cara untuk
meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat pada penyakit ini.

Saya dengar Ibu Anda, Patricia Polanco, juga seorang ratu kecantikan?

Ya, benar. Ia mewakili Republik Dominika untuk pemilihan Miss World pada tahun 1980 dan memenangkan gelar Miss Tourism.

Nampaknya gelar tersebut sudah merupakan keturunan dalam keluarga Anda?

Mungkin saja (Amelia tersenyum). Tapi Ibu saya tak pernah mengharuskan saya melakukan sesuatu yang tak saya inginkan. Ia hanya memberikan semua cintanya serta pendidikan yang baik. Ia mengatakan pada saya bahwa saya bisa menjadi apa saja yang suka. Ibu saya
merupakan salah satu panutan dalam hidup saya. Ia adalah bagian dari apa yang ada pada diri saya sekarang.

Adakah mimpi yang ingin Anda raih dalam hidup ini?

Kini gelar Miss Universe telah di tangan, mimpi saya yang lain adalah menjadi seorang penyanyi terkenal bila Tuhan mengijinkan. Tapi saat ini, saya ingin berkonsentrasi dulu pada tugas-tugas saya sebagai Miss Universe.

Apakah konsep wanita modern menurut Anda?

Wanita modern kini memiliki kebebasan untuk memilih apapun yang ia mau. Ia juga memiliki kemampuan untuk menangani keluarga sekaligus bekerja. Dan tentu saja saya sangat bangga menjadi bagian dari generasi yang modern ini.

Apakah gelar Miss Universe akan membantu Anda merefleksikan konsep wanita modern ini?

Tentu saja, saya adalah salah satu wanita modern tersebut. Dan sebagai wanita yang hidup di millenium ini, saya telah bekerjasama dengan beberapa organisasi sosial, saya merasa nyaman dengan semua ini, juga sangat percaya diri. Saya bangga bisa mewakili citra wanita muda saat ini.

Bagaimana mobil-mobil BMW menurut Anda, terutama seri 7?

Nyaman sekali. Saya sangat senang berada di dalamnya, bermain-main dengan semua tombolnya. Saya sangat berterimakasih pada BMW yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk menggunakan salah satu mobilnya selama kunjungan ini.

Sayang, lima menit segera berlalu, dengan sopan Amelia meminta maaf karena harus menyudahi wawancara. Dedikasinya pada tugas membuatnya selalu berusaha menepati jadwal sebagai Miss Universe. Sambil tersenyum ramah, ia bersalaman, lalu segera berlalu untuk menyiapkan diri.

Kita boleh berharap untuk segera melihatnya lagi. Siapa tahu, mungkin tahun depan Amelia akan kembali mengunjungi Indonesia, kali ini sebagai penyanyi kelas dunia.

October 18, 2003

[a+ magazine] Soundtracks of My Life

Kalau hidup saya adalah sebuah film, maukah Anda membeli soundtrack CD-nya?

Malam itu begitu gelap. Nampaknya lampu-lampu jalanan tak lagi berfungsi. Sepinya jalan membuat saya menekan pedal gas semakin kuat, sambil menyenandungkan ‘The Tide is High’ dari Atomic Kitten yang menggaung keras dari perangkat audio mobil. Tak terduga, tiba-tiba dari arah depan, sebuah mobil meluncur tepat ke depan saya. Saya berusaha membanting setir ke kiri, tapi mobil tak mampu terkendali, menabrak pagar pengaman, terlempar, dan akhirnya terbalik. Pandangan saya pun mulai mengabur, sebuah cahaya perlahan muncul di atas sana. Sudah waktunya. Sementara di latar belakang, Atomic Kitten masih berdendang tak henti-henti,’The tide is high and I’m holding on, I’m gonna be your number one. The tide is high and I’m holding on, I’m gonna be your number one. Nuuuumber one, nuuuuumber one....’

Aaaah, untunglah itu semua cuma mimpi buruk, karena (1) saya tidak bisa menyetir mobil, dan (2) Atomic Kitten? (3) Atomic Kitten? (lagi) (4) Apa? Atomic Kitten? Yang bener lu?

Kadang-kadang saya membayangkan hidup ini seperti sebuah film, dan tentunya haruslah ada serangkaian musik yang tepat sebagai soundtrack-nya. Anda tak mau kan momen penting seperti di atas rusak hanya gara-gara musik pengiring tak tepat?

Jadi, apa pilihan lebih tepat untuk mengiringi adegan tersebut? Yang paling hip jatuh pada ‘Bring Me to Life’-nya Evanesence. Bagaimana menurut Anda? Musik rock menderu-deru, suara penyanyi wanita yang bening, dentuman suara vokalis pria: ‘Wake me up inside (I can’t wake up), wake me up inside (save me), call my name and save me from the dark…’, sementara kamera berpindah-pindah cepat antara wajah saya dengan mobil yang melaju kencang membahayakan, serta lampu mobil di depan yang tiba-tiba membelah kabut. Lalu mobil saya menabrak dan terlempar hingga terbalik tepat saat si vokalis pria berteriak: ‘Save meeee….’ Mengiris, bukan? Sayang sudah digunakan untuk soundtrack Daredevil.

Sebenarnya pilihan ini terlalu pop untuk saya yang cenderung retro (maksudnya bergaya jaman dulu, bukan yang di Crowne Plaza). Saya lebih suka memilih ‘The End’ dari The Doors. Judulnya saja sudah kena, apalagi liriknya: ‘This is the end, beautiful friend. This is the end, my only friend, the end…’. Seiring dengan semakin perlahannya suara Jim Morrison, pandangan saya pun semakin mengabur. Dengan gerak lambat, pandangan saya beralih ke langit. Begitu banyak bintang di langit yang hitam, suara Jim Morrison berganti dengan derik jangkrik. Pasti sutradaranya Francis Ford Coppola. Lho, tapi kan lagu ini memang dipakai sebagai opening song film Coppola tahun 1979, Apocalypse Now. Jadi saya masih harus mencari lagu lain dong.

Mengkhayal dengan diiringi musik memang nikmat. Tak hanya saat mengkhayal sesuatu yang belum atau tidak akan terjadi, tapi juga saat mengenang sesuatu yang sudah berlalu. Saya punya kebiasaan mengorganisir pikiran saya berdasarkan lagu-lagu yang pernah saya dengar. Bisa jadi karena iramanya, mungkin karena liriknya, atau hanya karena kebetulan saja lagu itu diputar saat sesuatu sedang terjadi. Itulah sebabnya, kalau saya mendengar Rio Febrian dan Glenn Fredly melantunkan ‘Katakan Kau Milikku’ dengan mendayu-dayu, saya pasti merasa sedang makan mangga sambil minum bir, mengobrol dengan seseorang yang spesial, dan merasa senang kembali.

Praktis, bukan? Jadi saat mendengar lagu tertentu, secara otomatis otak akan memutar juga pikiran yang berkaitan. Bisa dikatakan, saya ‘menyimpan’ pikiran dalam lagu-lagu. Dan saat saya ingin mengingat suatu pikiran tertentu (bisa kenangan, bisa pula cuma ide atau khayalan), saya cukup memutar lagu yang berkaitan. Kalau saya mendengar ‘Big Yellow Taxi’ dari The Neighbourhood (boleh juga yang versi The Counting Crows): ‘…don't it always seem to go that you don't know what you've got till it's gone. They paved paradise and put up a parking lot...’, maka terbayanglah saya berjalan bergandengan tangan dengan seorang anak laki-laki balita di sebuah pantai sepi nun jauh di negara asing. Saya memakai kacamata berbingkai bulat, kaos singlet dan celana pendek tie-dye. Demikian juga si balita. Kami berjalan pelan-pelan sambil menikmati suasana. Kapankah itu terjadi? Oh maaf, ini cuma khayalan kok.

Lalu kalau sedang ingin menggali kreativitas, lagu apa yang harus saya dengar? Nampaknya ‘Wish’ dari Franka Potente yang paling tepat. ‘I wish I was a writer who sees what's yet unseen. I wish I was a prayer expressing what I mean. I wish I was a forest of trees that do not hide. I wish I was a clearing no secrets left inside.’ Dan semoga pikiran yang buntu pun mengalir lancar. Yeah you wish.

Sistem ini jadi sedikit menyusahkan karena beberapa hal, yaitu: (1) kalau saya lupa apa lagunya, dan (2) lama-kelamaan saya sulit membedakan antara kenangan yang sungguh terjadi dengan yang khayalan belaka. Itulah akibat terlalu banyak berkhayal.

Nah, apakah theme song yang tepat untuk film kehidupan saya ini? Saya memilih ‘For Once in My Life’. Coba dengarkan: ‘For once in my life, I have someone who needs me, someone I've needed so long. For once unafraid, I can go where life leads me and somehow I know I'll be strong.... Oh begitu penuh harapan. Semua orang pasti ingin merasakan hal itu. Tak heran, lagu ini tak pernah absen dari setiap resepsi pernikahan di Gran Mahakam. Daftar penyanyinya pun berderet: Frank Sinatra, Gladys Knight and the Pips, The Temptations, Stevie Wonder, Vonda Shepard, dan –believe me, I’ve been doing a list- masih banyak lagi. Yah, tak apalah kalau theme song hidup saya ternyata sudah terlalu banyak dinyanyikan orang. Mungkin ini berarti keinginan saya pun tak beda dari keinginan banyak orang.

Pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang tersimpan dalam lagu ini merupakan kenikmatan pribadi. Diam-diam saya merasa senang, sedih, bingung, penuh harapan, atau marah saat lagunya diputar. Ada baiknya saya mulai mengumpulkan lagu-lagu tersebut, menyimpannya dalam CD, dan menjudulinya ‘Soundtrack of My Life’. Ingat, ini bukan semata CD lagu-lagu, tapi merupakan media penyimpan pikiran. Di dalamnya ada kenangan, khayalan, dan harapan.

Lho, tapi ternyata bukan saya saja yang suka berkhayal sambil mendengarkan lagu. Hal ini sudah dilakukan oleh SEMUA orang. Tidak orisinil juga ya. Itu menjelaskan kenapa mas-mas sopir depan rumah saya tiba-tiba tersenyum sendiri kalau mendengar Inul menyanyi ‘Dikocok-kocok’. Ada kenangan apa, mas? Oh, nggak, saya cuma teringat goyang ngebor-nya mbak Inul itu (tidak bisa berhenti senyum-senyum).

Itu juga sebabnya muncullah berbagai acara lagu-lagu nostalgia di televisi. Para Bapak-bapak dan Ibu-ibu ternyata juga gemar berkhayal dan mengenang. Ibu saya tak bisa dipindahkan dari depan televisi pada hari Minggu malam. Kaset dan CD lagu kenangan pun tak pernah berhenti diterbitkan. Classic Love Song? 20 Evergreen Memories? 18 Tembang Emas? The Best of Rachmat Kartolo dkk? Take your pick.

By the way, saya masih belum menemukan soundtrack yang tepat untuk adegan tabrakan tadi. Hmm, bagaimana dengan ‘An Angel is Love’? Sebuah cahaya mengapung pelan di atas saya. Tubuh saya semakin ringan, tangan-tangan lembut mengangkat tubuh saya. Perasaan saya begitu lepas dan bahagia, samar-samar mengalunlah ‘...a beggar is sorrow, the devil is hate. A dream is tomorrow, a fool cannot wait. And honesty’s beauty that rises above to look in the eyes of an angel. An angel is love….’ Saya menoleh ke samping, lho kok ada seorang wanita berambut pirang dengan kostum bikini futuristik? Saya baru ingat, lagu inipun sudah menjadi soundtrack film Jane Fonda tahun 1968, Barbarella.

Pencarian masih berlanjut, sementara kesadaran saya perlahan timbul. Saya pun mulai bertanya-tanya, pentingkah pencarian ini dilanjutkan? Nampaknya lebih baik kalau saya tidur lagi, dan mengharapkan mimpi yang lain.

Sambil mengetik, muncullah video klip terbaru Justin Timberlake, ‘Rock Your Body’, di layar televisi saya. Dalam ruangan kerlap-kerlip itu, ia menari: ‘Don't be so quick to walk away. Dance with me, I wanna rock your body. Please stay...’ Tiba-tiba keasyikan saya terganggu dengan bunyi bel pintu. Bergegas saya ke depan dan membuka pintu pagar. “Eeh, dik Justin, silakan masuk.... Udah, sandal jepitnya dipake aja.” Wah, pasti ini mimpi lagi, karena (1) rumah saya tidak ada bel pintunya, dan (2) Justin Timberlake pasti tidak memakai sandal jepit.

October 15, 2003

[dewi magazine] Parfum Pesta, Pesta Parfum

Saatnya berpesta! Penampilan sudah istimewa, parfum pun perlu yang tak biasa.

Saat menerima undangan ke sebuah pesta, serangkaian rencana segera tersusun di kepala. Busana apa yang akan dikenakan? Bagaimana tata rias wajah dan rambutnya? Aksesori mana yang paling cocok? Tujuannya tentu agar penampilan di pesta jadi berbeda dengan penampilan sehari-hari.

Tapi semua persiapan itu tak akan lengkap bila ternyata parfum yang Anda kenakan masih saja sama dengan yang sehari-hari. Karena itu, ada baiknya Anda memiliki beberapa botol parfum sesuai saat-saat yang berbeda. Berikan label pada parfum-parfum tersebut -dalam hati saja, tak usah menempelkan label di botolnya- sesuka hati. Dengan demikian, saat Anda menyemprotkan parfum berlabel 'pesta', maka mood untuk berpesta pun segera terasa.

Tetapi jangan karena untuk ke pesta, lantas Anda menyemprotkan parfum secara berlebihan. Untuk mendapatkan aroma yang lebih kuat, pilihlah eau de perfume yang aromanya lebih terkonsentrasi daripada eau de toilette. Selain mengenakannya pada titik-titik nadi, kenakan parfum pada bagian tubuh di bawah pinggang. Karena aroma parfum menguap bersama panas
tubuh, hal ini akan membuat tubuh Anda harum dari ujung rambut hingga kaki.

Penggunaan secara berlapis dengan body lotion dan sabun beraroma sama juga akan mempertahankan wangi parfum. Apalagi sekarang banyak juga body lotion yang mengandung glitter untuk sentuhan khusus pada penampilan ke pesta. Menyemprotkan parfum pada busana biasanya tidak dianjurkan karena aromanya sulit dihilangkan, tetapi untuk ke pesta, tak ada salahnya Anda melakukan hal ini. Toh, busana pesta tersebut memang tak akan dikenakan sehari-hari.

Lalu, sebenarnya apa yang membedakan parfum sehari-hari dengan parfum untuk ke pesta? Secara umum, aroma bunga-bungaan yang lebih 'manis' menjadi pilihan banyak wanita saat ke pesta. Ternyata menurut penelitian, aroma seperti ini terbukti meningkatkan mood dan mengurangi kelelahan. Tapi tak perlu terlalu terpatok pada hal ini. Tak ada petunjuk lebih tepat
kecuali diri Anda sendiri. Karena seperti juga parfum untuk sehari-hari, parfum ke pesta pun mewakili kepribadian yang ingin Anda tampilkan.

Box:
Party Personality

Pilihan pesta menunjukkan kepribadian, dan kepribadian menentukan parfumnya. Mana pesta yang lebih Anda sukai?

Gala Dinner

So Pretty dari Cartier, No. 5 dari Chanel, Y dari YSL, Poeme dari Lancome, L'Eau D'Issey dari Issey Miyake.

Lounge Party

Pleasures dari Estee Lauder, L'Air du Temps dari Nina Ricci, Cristalle dari Chanel, Fragile dari JPG limite.

Private Party

Jaipur dari Bocheron, Coco dari Chanel, Obsession dari Calvin Klein, Versace Jeans Couture dari Versace, Omnia dari Bvlgari.

Garden Party

No. 22 dari Chanel, Red dari Giorgio, Rive Gauche dari YSL, Summer Cologne dari Tommy Hilfiger, Premier Jour dari Nina Ricci.

After Show Party

Casmir dari Chopard, Dolce Vita dari Christian Dior, Accenti dari Gucci, Un Aire de Samsara dari Guerlain, Cristobal dari Balenciaga.

October 08, 2003

[a+ magazine] Pria-Pria Tampan

Pria sportif, pria klasik, pria dandy, pria edgy. Nama boleh macam-macam, tapi kalau perut tak rata, Anda berada di luar lingkaran.

Mode itu jelas-jelas hubungannya dengan keindahan. Mau tak mau, kalau ingin keindahan mode itu nampak, tempat bertenggernya pun haruslah sesuai. Tidak mungkin kan, pemilik perut buncit mengenakan flat-front pants atau drawstring pants? Hasilnya pasti tidak flat atau malah dikira pelatih silat.

Superficial sekali, begitu pendapat Anda dengan defensif. Lho, itulah esensi dasar mode. Kalau tidak superficial, ya bukan mode. Jadi janganlah diperdebatkan mengapa tak ada trend busana untuk mereka yang terlalu kurus atau terlalu gemuk. Yang disuguhkan di atas catwalk adalah dunia ide dan inspirasi, dunia mimpi. Bagaimana menginterpretasikannya, bagaimana menanggapinya, tentu terserah pemirsa.

Lagipula semua hal pasti ada sisi baik-buruknya. Anorexia dan bulimia di satu ujung, tetapi ujung lainnya adalah kebugaran dan keindahan. Kita ambil sisi baiknya saja, akibat sampingan sebuah usaha keras menghasilkan tubuh hampir sempurna, biasanya adalah tubuh yang sehat. Tentunya bila hal ini dilakukan dengan kunjungan teratur ke fitness centre serta pengaturan makanan dengan gizi seimbang, bukannya liburan dua minggu untuk penyisipan implan silikon
agar dada jadi kotak-kotak.

Lihat saja, kalau sudah berhasil dalam usaha pembentukan tubuh, pasti Anda (diam-diam atau
terang-terangan) berusaha memamerkannya. Ini menjawab pertanyaan seorang teman saya soal mengapa pria-pria bertubuh bagus senang memakai busana agak ketat. Iyalah, kenapa juga sudah susah-susah membentuk perut terbagi enam, terus malah menutupinya dengan kemeja
kotak-kotak kedombrongan?

Dan buat mereka yang takut diragukan kejantanannya akibat tampil trendy, lebih baik buang alasan kuno untuk malas berolahraga tersebut. Kami para wanita lebih senang kok melihat pria bertubuh indah dan berpenampilan modis daripada yang sembarangan. Kalaupun ada wanita yang mengaku tidak suka, alasan sebenarnya pastilah kurang percaya diri karena kalah indah.

Karena itu, janganlah ragu berusaha keras membentuk tubuh dalam upaya tampil modis. Tapi bila perut tak juga rata setelah sit-up seratus kali tiap pagi selama 3 bulan, maka bukalah hati dengan lapang. Coba lihat barisan di bawah ini. Kalau Anda masih saja memandang dengan kesal, berarti sirik aja tuuh...

March 18, 2003

[a+ magazine] Mengenang Barbie

Pada suatu sore, saya terkenang pada sebuah kisah cinta lama, dan bagaimana saya melaluinya.

Mengingat jumpa pertama saya dengan barbie adalah melayangkan ingatan pada masa kecil. Entah sejak kapan persisnya, tiba-tiba sudah ada sepasang barbie berambut pirang dalam peti mainan saya. Saya segera terpesona pada kecantikan wajah dengan pipi merona dan kulit yang nampak begitu halus, rambut pirang sepinggul yang memantulkan cahaya pada setiap gerak, serta tubuh tinggi langsing dengan pinggang begitu ramping. Dalam sekejap saya melupakan Katak, boneka bulu berwarna hijau lusuh yang telah menemani selama bertahun-tahun. Apa boleh buat, barbie memang sebuah citra yang sangat, sangat cantik.

Sesuai dengan wujud mereka yang 'bule', saya memberikan nama Laureen dan Maureen. Layaknya barbie, kedatangan mereka ke kediaman saya tentu saja disertai seperangkat busana dan perlengkapan paling indah yang bisa dibayangkan seorang gadis kecil. Untuk tiap outfit berbeda, mereka memiliki padanan sepatu dan tas yang berbeda pula. Setiap pagi, mereka bersenam dalam busana ketat berwarna merah dan kuning lalu membengkok-bengkokkan lutut serta memutar-mutar tubuh (inilah kelebihan barbie dibandingkan boneka sejenis lainnya). Saat menghadiri acara makan siang, mereka merasa perlu mengenakan setelan denim dengan boots selutut dan tas tangan bernuansa senada atau paduan blouse putih berenda dan rok lipit bermotif bunga-bunga dan sepatu sandal bertali, tergantung di mana tempat makan siangnya.

Pada dasarnya, saya bukanlah orang yang mudah merasa iri. Tapi, siapa yang takan terpancing rasa irinya bila melihat sosok yang begitu cantik, begitu sempurna, dan begitu kaya? Ah, siapakah wanita yang tak ingin menjadi barbie walau sekali saja dalam hidupnya? Tak peduli betapa bodoh dan tak berotaknya citra yang kadang ditampilkan barbie.

Saya bukanlah satu-satunya yang tergila-gila pada kecantikan barbie. Sejak kemunculannya sebagai wanita berkebangsaan Italia pada tahun 1959, impian menjadi barbie mulai merasuk dalam pikiran setiap wanita. Apalagi kemudian barbie muncul dalam berbagai warna kulit, bentuk mata, maupun etnis berbeda. Jadi, bolehlah saya (waktu kecil) bercita-cita menjadi
barbie berkulit cokelat dan bemata belo sambil menikmati koleksi busana dan aksesori yang merupakan hasil cipta berbagai perancang berkelas -dari Bob Mackie, Vera Wang, Christian Dior, sampai Didi Budiardjo.

Tetapi mimpi memang harus tetap mejadi mimpi. Pada akhirnya saya tersadar bahwa semua barbie memiliki bentuk tubuh dan kecantikan yang persis sama, tak peduli etnisnya. Yang ada adalah barbie berpakaian Cina, Jepang, Rusia, sampai Minang, tetapi bukan wanita Cina, Jepang, Rusia, maupun Minang. Barbie hanyalah mimpi yang diciptakan otak jenius seorang
pemilik pabrik boneka, Ruth Handler. Dan karena itu, barbie haruslah tetap menjadi sekedar mimpi belaka, karena bila tiba-tiba menjadi nyata maka impian indah itu justru tak ada lagi. Maka, bodohlah mereka yang terobsesi ingin menjadi seperti barbie, karena sebenarnya hanya barbie yang boleh menjadi barbie. Masa nggak sadar juga, sih?

Jadi jangan salahkan saya yang akhirnya meletakkan Laureen dan Maureen ke dasar terbawah peti mainan beserta segenap perlengkapannya -sebagaimana umumnya kanak-kanak yang bosan pada mainannya. Pada saat saya melakukan hal itu, saya melihat Katak di dasar peti,
begitu lama terlupakan. Saya mengambilnya.